BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pertumbuhan
dan perkembangan suatu ilmu pengetahuan pada dasarnya bebas untuk berpikir dan
menyatakan hasil berpikir dari manusia itu. Karena itu jikalau ada kebebasan
menyatakan pendapat dan merupakan hasil pemikiran kemasyarakatan luas, harus
ada hal-hal yang menyebabkan sampai dilakukan penyelidikan. Biasanya ada
keadaan yang tidak sesusai dengan pandangan hidup di dalam masyarakat itu.
Demikianlah ilmu itu tumbuh dan berkembang. Karena itulah ilmu adalah lambang
yang utama dari kemajuan[1]
Ilmu
tidak dapat dipisahkandalam kotak-kotak terpaku , oleh karena itu sebagai salah
satu cabang ilmu pengetahuan sosial umumnya harus bekerja sama dengan cabang-cabang
ilmu pengetahuan sosial lainnya karena dapat memberi dan menerima pengaruhnya
dan bantuan satu sama lain yang saling memerlukan dan saling mengisi. Karenanya
akan lebih bermanfaat bila memahami objek yang diselidiki diantara
cabang-cabang ilmu pengetahuan sosial dll. Metode dan teknik ilmu pengetahuan
sosial pada umumnya dipergunakan pula oleh hampir semua cabang-cabang ilmu
pengetahuan sosial pada khususnya. Dalam hubungan khusus antara ilmu negara
dengan cabang ilmu pengetahuan sosial lainnya dimaksudkan adanya hubungan yang
pada pokoknya dititik beratkan dan digolongkan kepada objek penyelidikan yang
sama yaitu negara. Hal ini terutama nampak dengan jelas hubungan khusus antara
ilmu negara dengan ilmu politik, ilmu hukum tata negara dalam arti luas dan
ilmu perbandingan hukum tata negara. Ilmu negara sebagai salah satu cabang ilmu
ketatanegaraan di dalam prosesnya sebagai ilmu itu. Mengalami proses
pertumbuhan dan perkembangan. Dalam kaitan ini akan melihat kepada ilmu
induknya yaitu ilmu ketatanegaraan dengan para pemikirnya.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian dari ilmu negara?
2. Bagaimana
pertumbuhan dan perkembangan ilmu negara dengan beberapa pemikirnya
C.
Tujuan
1. Untuk
memenuhi tugas kelompok mata kuliah Ilmu Negara
2. Untuk
mengetahui tentang pengertian dari ilmu negara
3. Untuk
mengetahui bagaimana pertumbuhan dan perkembangan ilmu negara dengan beberapa
pemikirnya
D.
Metode
Analisis
Dengan mempelajari buku-buku dan mencari
data melalui media internet yang berkaitan dengan makalah ini sehingga
menghasilkan data-data yang lengkap dan relevan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Ilmu Negara
istilah ilmu Negara diambil dari istilah
bahasa belanda staatsleer yang diambilnya dari istilah bahasa
jerman,staatslehre.Timbulnya istilah ilmu Negara atau statsleher sebagai
istilah teknis,adalah sebagai akibat penyelidikan dari seorang sarjana jerman bernama
George jellinek. Ia terkenal disebut
sebagai bapak ilmu Negara. Ilmu Negara adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki
asas-asas pokok dan pengertian-pengertian pokok tentang Negara dan hokum tata
Negara. George Jellinek memandang ilmu negara sebagai suatu keseluruhan dan
membaginya ke dalam bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain. Di
Indonesia, universitas yang pertama kali menggunakan istilah Ilmu Negara adalah
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Menurut Kranenburg, Ilmu Negara adalah ilmu
tentang negara, dimana diadakan
penyelidikan tentang sifat hakekat, struktur, bentuk, asal mula,
ciri-ciri serta seluruh persoalan di sekitar negara. Selanjutnya, Kranenburg
berpendapat bahwa Ilmu Negara merupakan cabang
penyelidikan ilmiah yang masih muda walaupun menurut sifat dan
hakekatnya merupakan cabang ilmu pengetahuan yang tua karena sebenarnya Ilmu
Negara sudah dikenal sebagai suatu ilmu pengetahuan sejak zaman Yunani Kuno.
Ilmu negara adalah ilmu yang menyelidiki
pengertian-pengertian pokok dan sendi-sendi pokok dari negara dan hukum negara
pada umumnya. Pengertian menitik beratkan pada suatu pengetahuan, sedangkan
sendi menitik beratkan pada suatu asas atau kebenaran. Ilmu negara mempelajari
negara secara umum, mengenai asal-usulnya, wujudnya, lenyapnya, perkembangannya
dan jenis-jenisnya
B.
Pertumbuhan
Dan Perkembangan Ilmu Negara Dengan Beberapa Pemikirnya
a.
Masa
Yunani Purba
Sepanjang pengetahuan menurut pandangan
dunia keilmuan barat (Eropa), penyelidikan tentang negara timbul dan berkembang
setelah di Yunani Purba mengalami pemerintahan yang demokratis, di mana setiap
orang bebas untuk menyatakan hasil pikiran dan isi hatinya, sehingga
penyelidikan tentang ilmu negara bertepatan sekali dengan kebudayaan Yunani
Purba. Negara-negara di dalam kebudayaan Yunani Purba pada waktu itu masih
bersifat polis-polis atau the Greek state yaitu pada mula pertamanya merupakan
suatu tempat di puncak suatu bukit. Lama kelamaan orang-orang banyak yang
tinggal di tempat itu dengan jalan mendirikan tempat tinggal bersama, berupa
rumah-rumah dan kemudian tempat tersebut di kelilinginya dengan suatu benteng
tembok untuk menjaga serangan musuh dari luar. Pemerintah dalam polis merupakan
hal yang tinggi, karena di atas polis tidak ada lagi suatu organisasi kekuasaan
lain yang menguasai danmemerintah polis itu. Inilah letak keistimewaan dari
polis, organisasi yang mengatur hubungan antar orang se-Polis itu tidaklah
hanya mempersoalkan hubungan organisasinya saja melainkan juga mempersoalkan
mengenai hidup kepribadian orang-orang yang hidup di sekitarnya. Oleh karena
itu terdapat campur tangan organisasi yang mengatur polis. Karena polis di
samakan (identiek) dengan masyarakat negara atau negara, maka polis merupakan
negara kota( standstaat atau citystate),yang dalam istilah lain disebut juga
dengan Athenian State. Sehubungan dengan hal tersebut di kalangan pemerintahan
lazimnya berwujud demokrasi langsung atau directe demokratie( direct-democracy
atau klassieke democratie) rakyat di dalam polis ikut serta secara langsung
menentukan beleid kebijaksanaan pemerintah atau adanya direct government by all
the people. (3) oleh karena itu turut sertanya rakyat di dalam pemerintahan
merupakan ciri mutlak dari demokrasi. Dan turut sertanya rakyat secara langsung
ini dalam pemerintahan merupakan corak khas yang di dapatkan di dalam
kebudayaan Yunani Purba. Selain turut serta secara langsung dalam pemerintahan,
rakyat (waga kota atau citizen) juga yang melakukan pengawasan dengan jalan
musyawarah rakyat (aclesia yang dalam istilah romawi disebut cometia). Beberapa
pemikir atau filsuf yang hidup pada masa itu, antara lain :
1.
Socrates
( 470 - 399 SM)[2]
Pada masa itu terdapat kesempatan yang
baik untuk menyatakan hasil berpikir di sebabkan ada kebebasan berpikir dan
tidak ada kalangan-kalangan yang bersifat mengharuskan. Di tambah lagi dengan
kemenangan yunani terhadap persia,sehingga meninnggikan martabat Yunani,
perasaan kebangsaan mulai tumbuh. Kemakmuran tumbuh, berkembang dan di rasakan
sebagai hasil pelajaran serta perdagangan. Di samping itu pengetahuan terhadap dunia
luar makin di perluas. Juga sifat agamanya, keadaan geografis dan bentuk
“Negara”-nya. Akan tetapi di dalam keadaan serba mewah dan gilang gemilang itu,
bersemanyamlah para pembesar negara yang melupakan tugas dan kehilangan rasa
susilanya, sehingga timbullah di sana-sini tindakan-tindakan yang bersifat
bersimaharaja, sewenang-wenang, korupsi, pemerasan, dan tindakan-tindakan
lainnya yang bersifat tidak adil. Di tengah suasana demikian itu bermunculanlah
para filsuf dari luar negeri terutama dari daratan Asia kecil karena baginya
hal tersebut merupakan kesempatan besar untuk menjual ilmunya di Yunani. Mereka
itu tergolong kaum sophis dan
alirannya di sebut sophisme.
Kaum sophis ini menyebarkan dan
menganjurkan paham-paham mengenai hukum, keadilan serta negara yang sifatnya
merusak masyarakat sebagaimana Thrasymachus
mengajarkan, bahwa: Justice is the interest of the stronger (keadilan itu
merupakan keuntungan atau apa yang berguna daripada yang lebih kuat).[3]
Demikian mereka menjilat, mengelus-ngelus dan meninabobokan
pembesaran-pembesaran negara yang memegang kekuasaan dan bersifat seperti
“Rahwana” sebagai inkarnasi dari segala kedholiman dan angkara murka, dengan
jalan mengajarkan, bahwa keadilan di dalam negara merupakan segala hal yang
menguntungkan bagi para pengusaha negara. Jadi hukum bersifat subjectif, yaitu terserah dan bergantung
kepada siapa siapa yang secara kebetulan memegang kekuasaan, ialah siapakan
yang membentuk hukum dan siapakah pula yang menjalakan hukum danmengadil itu.
Maka barang mustahillah adanya keadilan yang bersifat objektif berlaku bagi setiap manusia. Barang siapa yang akan
menjalankan hukum melarapkan keadilan sebagaimana mestinya, akan mendapat
derita dan nestapa. Tapi barangsiapa menjalankan hukum melarapkan keadilan yang
sejalan dan sesuai dengan kehendak para penguasa negara, akan mendapat pahala
besar. Jelaslah jalan yang terbaik “menjalankan kebathilan, akan tetapi
bertopeng keadilan”.
Di tengah keadaan dan suasana yang
memperkosa hukum, meninjak injak dan mempersundal perikemanusian yang amat
sangat membahayakan negara, maka muncullah socrates laksana penjelma “ Sri
Rama” untuk berjuang memberantasnya dan mengikisnya dengan tiada gentar
sedikitpun di mana saja dia berdiam serta kapan saja dia berada . Cara kerja socrates, yaitu dengan metode dialektis
atau “tanya jawab” (dialog), dengan itu mencoba mencari pengertian-pengertian
tertentu, yaitu mencari dasar-dasar hukum dan keadilan” yang sejati bersifat
objektif dan dapat dijalankan serta diterapkan kepada setiap manusia.”
Menurut pendapatnya bahwa dalam hati
kecil setiap manusia terdapat hukum dan keadilan sejati sebab setiap manusia
adalah bagian dari nur/cahaya Tuhan. Walaupun seringkali tertutup oleh
sifat-sifat buruk namun rasa hukum dan keadilan sejati dalam hati kecil manusia
tetap ada. Selanjutnya, Socrates berpendapat bahwa negara bukanlah organisasi
yang dibuat untuk kepentingan pribadi. Negara adalah suatu susunan yang
objektif bersandarkan kepada sifat hakikat manusia dan bertugas untuk
melaksanakan hukum yang objektif yang memuat keadilan bagi masyarakat umum.
Oleh karena itu negara harus berdasarkan keadilan sejati agar manusia
mendapatkan ketenangan. Namun, sangatlah disesalkan serta di sayangkan ajaran
socrates tersebut pada tahun 399 S.M. di pandang serta di anggap berbahaya bagi
negara dan merusak akhlak budi pekerti para pemuda Yunani Purba karena itu ia
di tuntut dan di jatuhi hukuman mati dengan jalan minum racunoleh negara yang
ia taati,sebab sebaimanapun juga negara itu ia harus patuhi walaupun negara itu
harus di perbaiki.
2.
Plato
(429-347 S.M)
Plato adalah seorang filsuf dan
matematikawan Yunani, penulis philosophical dialogues dan pendiri dariAkademi
Platonik di Athena, sekolah tingkat tinggi pertama di dunia barat.Ia adalah
murid Socrates. Pemikiran Plato pun
banyak dipengaruhi oleh Socrates. Plato
adalah guru dariAristoteles. Plato hidup ditengah tengah kekacauan, dimana
keadaan dinegaranya sedang terjadi berbagai macam kecurangan politik dan pada
saat itu pemimpin yang berkuasa lebih mengutamakan kemewahan dan memperkaya
diri sendiri tanpa memperhatikan rakyat mereka, sehingga pada awalnya plato
menjauhkan diri dari segala hal yang berbau politik. Plato lebih suka melarikan
diri dari kenyataan dan pikirannya melayang-layang di alam khayal, namun hal
tersebut mempengaruhi pola piker dan cara bekerjanya, sehingga dikenal dengan
metodenya yang disebut deduktip-spekulatip transedental. Diusianya yang ke 20
tahun, plato memilih untuk melakukan perjalanan kebeberapa Negara, yaitu
Cyrene, Mesir, Italia Selatan dan Sisilia. Dan pada akhirnya ia menjadi murid
Socrates, dan meneruskan ajarannya mengenai “Negara sempurna”.
Menurut ajarannya dikenal dengan 2 (dua)
dunia, yaitu :
1. Dunia
indrawi : Realitas yang pertama ini yakni adalah yang mencakup benda-benda
jasmani yang disajikan kepada panca indra, atau bisa dikatakan relaitas yang
pertama yang dimaksud Plato adalah sesuatu yang dapat dijangkau oleh indra
seperti bunga, pohon dan lain-lain. Pada taraf ini harus diakui bahwa semuanya
tetap berada dalam perubahan. Bunga yang kini bagus keesokan harinya sudah
layu, lagi pula dunia indrawi ditandai oleh pluralitas. Sehingga bunga tadi, masih
ada banyak hal yang bagus juga.
2.
Dunia ide : Disamping
ada dunia indrawi yang senantiasa berubah, menurut Plato ada juga sebuah dunia
yang tidak pernah berubah yakni disebut dunia ideal atau dunia yang terdiri
atas ide. Dalam dunia ideal tidak sama sekali yang pernah berubah. Semua ide
bersifat abadi dan tak terubahkan. Dalam dunia ideal tidak ada banyak hal yang
bagus karena hanya terdapat satu ide “ yang bagus”. Demikian pula dengan
ide-ide yang lain yang bersifat abadi dan sempurna.
Asal
mula Negara menurut plato karena banyaknya kebutuhan hidup serta keinginan
manusia, hal tersebut tidak mungkin dilakukan oleh masing-masing individu,
namun mereka melakukannya secara bersama-sama dengan membagi tugas sehingga
kebutuhan hidup manusia dapat tercapai.
Socrates
mengemukakan 2 (dua) syarat, namun plato menambah syarat tersebut menjadi 3
(tiga), yaitu:
1) Negara
harus dijalankan oleh pegawai yang terdidik khusus.
2) Pemerintahan
harus ditujukan segala-galanya demi kepentingan umum
3) Harus
dicapai kesempurnaan susila dari rakyat.
Hal
tersebuat dapat ditarik kesimpulan bahwa sifat Negara dan sifat manusia
mengakibatkan adanya penetapan 3 (tiga) macam sifat yaitu : kebenaran,
keberanian, dan kebutuhan.
Menurut
Plato terdapat lima macam bentuk negara yang sesuai dengan sifat tertentu dan
jiwa manusia, yaitu sebagai berikut.
1) Aristokrasi
yang berada di puncak. Aristokrasi adalah pemerintahan oleh aristokrat
(cendikiawan)sesuai dengan pikiran keadilan. Keburukan mengubah aristokrasi
menjadi:
2) Timokrasi,
yaitu pemerintahan oleh orang-orang yang ingin mencapai kemasyhuran dan
kehormatan. Timokarsi ini berubah menjadi:
3) Oligarkhi,
yaitu pemerintahan oleh para (golongan) hartawan. Keadaan ini melahirkan milik
partikulir maka orang-orang miskin pun bersatulah melawan kaum hartawan dan
lahirlah:
4) Demokrasi,
yaitu pemerintahan oleh rakyat miskin (jelata). Oleh karena salah
mempergunakannya maka keadaan ini berakhir dengan kekacauan atau anarkhi.
5) Tirani,
yaitu pemerintahan oleh seorang penguasa yang bertindak dengan sewenang-wenang.
3.
Aristoteles
(384-322) [4]
Aristoteles
adalah murid Plato.
Aristoteles berasal dari macedonia dan datang ke Yunani waktu berusia 17
tahun untuk berguru kepada Plato.
Aristoteles waktu itu hidupn dalam masa pancaroba dimana keruntuhan Yunani
tidak dapat dihindarkan lagi, sehingga pada akhirnya Yunani kehilangan
kemerdekaannya serta menjadi bagian dari kerajaan macedonia. Ia seorang filsuf
yang banyak pengaruhnya pada abad pertengahan. Kewibawaannya dalam lapangan
ilmu pengetahuan dan filsafat waktu itu hampir sama dengan kewibawaan gereja
khatolik. Ia pernah ditugaskan oleh raja
philipus untuk mendidik Iskandar Dzulkarnain
Pada Waktu 342 S.M. Pada tahun 335 S.M. Ia kembali ke Yunani dan mendirikan
sekolah lyceum di Yunani. Karena caranya memberi pelajaran selalu dilakukan
sambil berjalan-jalan kian kemari, maka aliran filsufnya disebut peripatetis.
Aristoteles melanjutkan pemikiran
idealisme Plato ke realisme. Oleh
karena itu filsafat Aristoteles adalah
ajaran tentang kenyataan atau ontologie, yaitu suatu cara berpikir yang
realistis. Sehingga dengan demikian metode penyelidikannya bersifat
induktif-empiris. Dan oleh karena itulah ia di juluki Bapak ilmu pengetahuan empiris (Vader der empirische wetenschap). Aristoteles
pernah menyelidiki dan membandingkan-bandingkan Konstitusi polis-polis dalam
kebudayaaan Yunani kira-kira berjumlah antara 150-200 buah. Karangan sebagai
hasil penyelidikan itu semuanya telah hilang danbaru diketahui lagi sebuah karangan
mengenai yunani pada tahun 1891.
Karangannya terdiri dari dua bagian:
1) Sebagai
hasil penyelidikan pertumbuhan polis sebelum tahun 403 S.M.
2) Mengenai
susunan polis semasa Aristoteles.
Didalam
penyelidikannya Aristoteles membeda-bedakan hal-hal bersifat idiil yang
merupakan pengertian-pengertian abstrak seperti kesusilaan, keadilan hukum, dan
sebagainya. Untuk hal-hal tersebut di bahas dalam bukunya yang berjudul ethica
atau nicomachen Ethics. Ethica ini merupaka pelajaran pendahuluan terhadap hal
yang bersifat real, seperti ajaran negara yang menyatakan bahwa pembahasan
negara itu lebih bersifat realis.
Mengenai
Negara ia sependapat dengan Plato, yaitu negara bertujuan untuk:
1) Menyelenggarakan
kepentingan warganegaranya; dan
2) Berusaha
supaya warganegara hidup baik dan bahagia (good life) di dasarkan atas
keadilan, keadilan itu memerintah dan harus menjelma di dalam negara.
Sehubungan
dengan hal itu cara terjadinya Negara menurut Aristoteles ialah bahwa manusia
itu berbeda dengan hewan, sebab hewan dapat hidup sendiri,sedangkan manusia
sudah di kodratkan untuk hidup berhubungan satu sama lain. Manusia membutuhkan
bantuan dari manusia lainnya guna memenuhi kepentingan hidupnya. Manusia itu
menurut kodratnya tidak dapat terlepas dari kelompok manusia itu sendiri. Jadi
manusia itu merupakan zoon politicon. Dan bilamana ada manusia yang terlepas
dari ikatan kelompok manusia itu sendiri, maka merupakan keanehan bahwa makhluk
itu bersifat manusia, melainkan dewa atau hewan. Oleh karena itu manusia hidup
bersama dengan manusia di dalam suatu kelompok dan penggabungan-penggabungan di
antara beberapa kelompok itu mengakibatkan timbulnya negara.
Manusia
dapat hidup berbahagia di dalam dan kerena negara, kerena itu manusia tidak
dapat terpisahkan dari negara atau masyarakat, dan merupakan lapisan masyarakat
atau negara. Dengan demikian maka negaralah yang terutama, baru kemudian
wajarlah manusia terpelihara serta terjamin pula. Paham demikian dinamaan Universalism atau collectivisme yang pada waktu itu telah menjadi paham umum di
Yunani Purba,jadi bukanlah induvidualisme.
Mengenai
tujuan negara oleh Aristoteles dijelaskan, bahwa berhubung dengan pahamnya
bersifat universal itu, maka lebih diutamakan adalah negara. Oleh karena itu
pemerintah sebaik-baiknya ditujukan kepada kepentingan umum, berlandaskan
keadilan yang merupakan keseimbangan kepentingan di atas daun neraca Them (Dewi
keadilan di dalam mitologi Yunani). Tujuan dari negara adalah kesempurnaan
warganya yang berdasarkan atas keadilan, keadilan memerintah dan harus menjelma
di dalam negara, dan hukum berfungsi mermberi setiap manusia apa sebenarnya
yang berhak ia terima. Di antara ungkapan terkenal Aristoteles adalah ia
menyatakan “man is zoon politicon”,
ia juga merupakan penganut prinsip universalitas.
Mengenai
bentuk negara, Aristotelas pernah mengadakan penyelidikan pada 150-200 buah
konstitusi polis-polis di Yunani, kesimpulan yang didapat menyatakan bahwa
terdapat tiga bentuk dasar, yaitu bentuk cita (ideal form), bentuk pemerosotan
(corruption or degenerate form), dan bentuk gabungan antara bentuk cita dan
pemerosotan (mixed form). Terdapat tiga bentuk negara yang tergolong ke dalam
bentuk cita, dengan kriterium atau ukuran kuantitas orang yang memerintah
sebagai pembedanya, yaitu :
1. “one
man rule” atau pemerintahan satu orang “monarchi”
2. “a
few man rule” atau pemerintahan sedikit / beberapa orang “aristokrasi”
3. “the
many mans or the peoples rule” atau pemerintahan orang banyak untuk kepentingan
umum (politea, polity atau republik)
Untuk
bentuk pemerosotan juga terdapat tiga macam bentuk negara, dengan kriterium
atau ukuran kuantitatif berdasarkan dengan tujuan yang hendak dicapai, yaitu :
1. Bilamana
tujuannya itu didasarkan kepada kepentingan satu orang atau sendiri atau
pribadi, atau pemerintahan tirani “despotie”
2. Bilamana
tujuannya itu didasarkan kepentingan segolongan atau beberapa orang, atau
pemerintahan oligarchi atau clique form atau plutocrasi (plutos berarti
kekayaan, cratia atau cratein berarti memerintah)
3. Bilamana
tujuannya itu didasarkan untuk kepentingan dan atas nama rakyat seluruhnya
“democratie”
Dengan
dijulukinya Aristoteles sebagai ‘bapak ilmu pengetahuan empiris’ dikonstalasi,
bahwa di dalam kenyataannya, bentuk negara cita tidak pernah terlaksana,
melainkan selalu menjadi bentuk campuran atau malah pemerosotan, atas pandangan
tersebut Aristoteles juga dianggap sebagai seorang perintis sosiologi hukum.
4.
Epicurus
(342-271 SM)
Ia seorang ahli pikir dan hukum,
dilahirkan di samos, mendapat pendidikan diYunani serta hidup dalam keadaan
keruntuhan negara-negara di Yunani sesudah Yunani menjadi jajahan negara
Macedonia. Dan ketika alexander wafat maka kerajaan dunia itu terpecah-pecah, sehingga
diYunani timbul perserikatan kota-kota, seperti : Atcoha dan archacia. Keadaan
demikian terus berlangsung sampai yunani menjadi bagian dari imperium Romawi.
Dalam hal ini manusia sebagai tiap-tiap warga di dalam nsgara dimisalkan
sebagai sebutir atom atau sebutir pasir dipadang pasir yang luas jadi bersifat
atomitis, maka hanyalah memikirkan hidup
untuk diri sendiri demi keselamatan diri pribadinya sendiri. Karena itu pandangan demikian disebut
pandangan yang bersifat individualistis.
Atas dasar pandangan ini epicurus
berpendapat bahwa terjadinya negara itu disebabkan terdorong oleh karena adanya
kepentingan sebagai unsur-unsur perseorangan. Dan tujuan dari negara hanyalah
menjaga tata tertib dan keamanan dalam masyarakatdengan tidak memperduliakn macam
apa dan bagaimana negara itu. Sedangkan tujuan masyarakat adalah kepentingan
perorangan yang berarti keenakan diri pribadi. Dan agar jangan timbul
perselisihan di antara para warga itu satu sama lainnha maka dibuatlah UU
sebagai hasil suatu perjanjian. Krna itu para wrga di dalam negara tidak perlu
memikirkan negara sebab asal negara sudah tertib, maka pimpinan negaralah yang harus mengurus
kenegaraan.
Kalau
dilihat sipikiran epicurus ini merupakan pikiran yang putus asa takala negara
sedang menghadapapi masa keruntuhan dimana rasa kebangsaan menipis, karena
tidak diperduliakn lagi siapa dan cara bagaimana negara itu
diselenggarakan, sehingga pendapatnya
itu hanyalah menggambarkan negara dan hukum pada suatu saat tertentu.
5.
Zeno
(300 M.S.)
Zeno juga hidup dalam keadaan serba lesu
dan morat-marit, pemimpin dari aliran filsafat Stoazijnen (stoa; berarti jalan
pasar yang bergambar), ia memberikan dan mengajarkan pahamnya kepada para murid
dengan mengambil tempat di jalan yang bergambar dan banyak tonggak temboknya,
hasil dari aliran ini menimbulkan kebudayaan yunani yang disebut “hukum alam”
atau hukum asasi yang ajarannya terbagi dua, yaitu :
1. kodrat
manusia ; dilihat kepada sifat-sifat manusia ialah kodrat yang terletak dalam
budi manusia yang merupakan zat hakikat sedalam-dalamnya dari manusia, dan budi
itu bersifat tradisional.
2. kodrat
benda ; kodrat benda yang timbul di dalam kebudayaan Yunani, ialah kodrat yang
mempunyai pengertian sentral kosmos sebagai lawan daripada chaos, sebagaimana
Sokrates, Plato dan Aristoteles, pelukisan dunia sebagai kosmos itu merupakan
suatu tata susunan satu kesatuan yang teratur rapi. Sedangkan dalam bentuk
chaos itu dunia merupakan paksaan yang tidak ada ‘ordening’ dan tidak mengenal
tata sehingga di dalam masyarakat terdapat kekacauan.
Paham dan cita-cita Zeno amat disukai
oleh pimpinan negara Roma, sewaktu mereka menyusun imperium Romawi yang terdiri
dari berbagai macam bangsa yang diperbolehkan memelihara kebudayaannya
masing-masing dan tidak perlu mencintai ibu negara Roma, asalkan mereka tunduk
dan mentaati segala ketentuan peraturan Roma. Paham Zeno yang tidak terbatas
pada negara kota, melainkan bersifat negara dunia sehingga terdapat
universalisme (kepentingan umum, individu bagian masyarakat).
6.
polybios
(204-122 S.M)[5]
Polybios merupakan seorang tawanan orang
Romawi di Roma. Karena itu ia mendapat kesempatan mempelajari dan meneliti
susunan system pemerintahan dan jalannya perkembangan Negara Romawi dan ia
menulis sejarah Romawi. Teori yang dikemukakan oleh polybios dikenal dengan
sebutan teori perjalanan cyklis (cyclish verlop) merupakan teori perjalanan
perputaran sebagai suatu lingkaran yang tertutup yang didasarkan seperti
menurut pendapat Aristoteles karena adanya hubungan sebab akibat (causaliteitleer)
yang artinya bahwa diantara bentuk-bentuk Negara satu sama lainnya ada suatu
hubungan sebab-akibat.
Polybios menjelaskan bahwa sebagai bentuk Negara yang tertua, ialah monarkhi,
yang pemerintahannya dijalankan oleh seseorang pimpinan Negara yang berbakat
dan memiliki keberanian, selain itu ia memerintah dengan baik dan
ditujukan demi kepentingan umum yang berlandaskan keadilan. Akan tetapi para
penggantinya bertindak menyeleweng, memerintah demi kepentingan pribadi, dan
timbullah tirani. Dari bentuk tirani, lama kelamaan warganya memberontak karena
tidak tahan dengan penderitaan dan penindasan yang dilakukan oleh
pemerintahannya, kemudian mereka memilih beberapa orang dari golongan ningrat
yang cerdik dan diberikan kepercayaan untuk memerintah, dan timbullah bentuk
Negara aristokrasi.
Namun aristokrasi ini mengalami proses
kemunduran dan kemerosotan, karena pimpinan Negara bertindak demi kepentingan
mereka yang memerintah, dan bertingkah semena-mena, sehingga mengakibatkan
terbentuknya bentuk Negara oligarkhi.Oligarkhi pun mengalami nasib yang sama
seperti tirani, karena tindakannya sewenang-wenang dan menimbulkan perlawanan
para warga terhadap beberapa pimpinan Negara itu. Warga mendapatkan kemenangan
dari perlawanan tersebut dan mengambil alih kekuasaan pimpinan Negara, maka
mereka (rakyat) lah yang memegang pemerintahan, dan timbullah bentuk Negara
demokrasi.
Bila
Negara demokrasi mengalami kemunduran yang disebabkan karena rakyatnya tidak
tahu sedikitpun tentang hukum dan tidak memiliki pendididkan dalam
pemerintahannya, maka timbullah bentuk Negara okhlorasi. Setelah okhlorasi
menimbulkan kekacauan dimana-mana barulah para warga menyadari dan menginginkan
adanya pemerintah, muncullah seorang warga yang berani maju mengambil alih
pimpinan Negara, dan pada akhirnya membentuk Negara monarkhi kembali, dan terus
berputar secara skematis.
Menurut polybios pertumbuhan dan
perkembangan bentuk-bentuk pemerintahan suatu Negara adalah suatu siklus yang
mengalami pengulangan. Namun teori ini hanya cocok diterapkan dibeberapa Negara
saja seperti itania dan jerman yang mengubah demokrasi-monarkhi. Teorinya pun
belum dapat dibuktikan dengan tepat, karena sejarah tidak mungkin terulang
kembali sama persis seperti dahulu kala.
b.
Masa
Romawi
Setelah Yunani disatukan oleh orang
Romawi pada tahun 146 S.M. kemudian di gabungkan, sehingga menjadi daerah
bagian belaka dari imperium Romawi.oleh karena itu orang-orang romawi tidak
mempunyai banyak waktu untuk berpikir dan menulis sebagaiamana halnya
orang-orang Yunani, maka orang-orang Romawi tidak banyak meninggalkan
tulisan-tulisan mengenai kenegaraan. Mereka sibuk menyusun kenegaraannya yang
begitu luas daerahnya, sehingga mereka lebih mengutamakan pembentukan
organisasi-organisasi dan peraturan-peraturan yang bersifat praktis yang dapat
menjangkau dan mengatur persoalan-persoalan kenegaraannya. Sebab itulah sifat
bangsa romawi. Sifat bangsa Yunani selaku ahli berpikir,sedangkan sifat bangsa
Romawi selaku ahli praktek, yaitu menjalankan dan memperaktekan segala sesuatu
yang timbul dan hidup dalam alam pikirannya. Sehubungan dengan hal itu yang
benar-benar asli di dalam kebudayaaan Romawi ialah di lapangan Ilmu Pengetahuan
hukum dogmatis atau dogmatische
rechtwetenschap dalam arti sempit. Yang di maksud ilmu hukum pengetahuan
dogmatis, ialah ilmu pengetahuan yang dijalanka oleh ahli hukum sebagai
“pemein” di mana ia turut mengambil peranan. Mengenai istilah ahli hukum
sebagai pemain ini berasal dari istilah Renges Hora Siccama seorang ahli
filsafat dan sejarah, yang menulis buku berjudul Ntuurlijke waarheid en
historische bepalldheid atau kebenaran menurut alam dan ketentuan menurut
sejarah, yang membedakan pengertian dan menimbulkan istilah Jurist als
medespeler (ahli hukum sebagai pemain) dan Jurist als toeschouwer (ahli hukum
sebagai penonton). Jadi yang menenagkan hubungan antara hakim,Undang-Undang,
dan hukum.
Mengenai ilmu kenegaraaan, orang-orang
Romawi tidaklah asli, berhubung mereka membuntut dan meniru orang-orang Yunani
teruutama dalam paham mengenai polis-polis (polis-gedachte).
Sama halnya dengan kenegaraan dalam kebudayaan Yunani, maka dalam
kebudayaaan Romawi ilmu kenegaraaan itu masih juga belum terpisah-pisah.
Perkembangan sejarah politik Romawi yang
mencakup dan meliputi 4 (empat) tingkatan masa, yaitu:
1.
Masa
kerajaan
Yaitu masa Koningschap atau kerajaan .
Yang jadi pimpinan Negara seorang raja, sehingga bentuk Negara merupakan
monarkhi. Masa ini tidak begitu penting dalam pertaliannya dengan isi
kedaulatan rakyat. Masa tersebut bersifat legenda.
2.
Masa
Republik
Republik atau republiek berasal dari
perkataan Res berarti “Kepentingan” dan Publica berarti “umum”. Republik
artinya suatu pemerintahan yang menjalakan kepentingan umum. Pada masa itu
pimpinan negara di pegang oleh konsul-konsul yang menyelenggarakan dan
menjalakn pemerintahan demi kepentingan umum. Biasanya pemerintahan itu di
pegang dan di jalankan oleh 2 (dua) orang konsul. Akan tetapi bilamana di dalam
keadaan bahaya dan atau darurat,seperti adanya bahaya perang, alam, paceklik,
dan lain sebagainya, maka para warganya memilih seseorang atau menunjukan dan
mengangkatnya untuk memegang segala kekuasaan di dalam pemerintahan itu selama
keadaan bahaya tersebut, demi untuk mengatasinya, sehingga timbullah seorang
diktator. Lama atau tidaknya kekuasaan diktator itu bergantung kepada keadaan
bahay itu sendiri, sebab jika keadaan bahaya telah teratasi dan keadaan menjadi
pulih kembali,maka diktator itu harus mengembalikan kekuasaannya dan memberikan
pertanggungjawaban atas segala tindakannya itu kepada rakyat. Rakyat
memberikannya lagi kepada dua orang konsul.
3.
Masa
Prinsipat
Masa prinsipat ini dimulai dengan masa
ceasar. Masa ini dimulai dengan Caesar. Meskipun pada waktu itu para Princep’s atau
raja-raja Romawi belum memiliki kewibawaan (gezag)
namun pada hakikatnya merupakan orang yang memerintah secara mutlak. Kemutlakan
ini di dasarkan kepada ceasarismus yaitu adanya perwakilan yang menghisap, dari
dari pihak ceasesar, terhadap kedaulatan rakyat . karena hal itu dinamakna pula
Absorptieve representation atau abosorberede
vertegenwoordiging. Dan untuk keperluan inilah orang-orang Romawi sibuk
mencari-cari dasar atau landasan-landasan hukumnya, agar segala tindakan raja
yang menyeleweng dari kedaulatan rakyat dapat dibenarkan dan dihalalkan. Maka
dipakailah kedaulatan rakyat untuk mengkonstruksi caesarismus pada masa-masa
prinsipat dan dominat. Romawi itu tidak ahli di lapangan kenegaraan disebabkan
meniru Yunani, maka kedaulatan rakyat itu disalahgunakan. Dan sehubungan dengan
ilmu negara ini di pakailah konstuksi Ulpianus, dengan jalan bahwa “kedaulatan
rakyat diberikan kepada prinsep atau raja melalui suatu perjanjian yang termuat
di dalam Undang-Undang yang di susun olehnya dengan termasuk di dalam Lex Regia. Jadi landarsan hukumnya
“perjanjian” yang terletak dalam lapangan hukum perdata, sebaimana keahlian
orang Romawi dalam bidang itu. Dan setelah kekuasaan itu diberikan kepada
prinsep maka rakyat dalam kenyataan tidak dapat meminta pertanggungjawaban atas
perbuatan-perbuatan “prinsep”. Sehingga terjadilah perwakilan yang menghisap
dari pihak ceasar terhadap “kedaulatan rakyat”.
Di Dalam caesarismus ini terkenal dan
semboyan yang berbunyi solus publica
suprema lex (kepentingan umum mengatasi Undang-Undang); dan prinsep legibus solutes est (rajalah
yang menentukan kepentingan umum itu). Jadi pada dasarnya pemerintahan untuk
kepentingan umum dan kepentingan itu dirumuskan dalam bentuk
Undang-Undang,sehingga kepentingan umum itu dirumuskan dalam bentuk
Undang-Undang (publica suprema lex). Akan tetepi timbulnya ekses-ekse maka yang
merumuskan kepentingan umum itu bukanlah negara umum atau rakyat, melaikan raja
(princep legibus solutus est). Dan karena itu sudah barang tentu di dalam
merumuskan itu raja bertindak demi kepentingannya sensdiri. Maka dengan demikian
Princep dengan berkedok kedaulatan rakyat dan memerintah sewenang-wenang,
memperkosa hukum demi kepentingan dirinya secara leluasa tak terbatas melalui
absorberende vergeten woordiging. Kedaulatan rakyat dipergunakan sebagai kedok
belaka oleh prinsep untuk mendapatkan feitelijik gezag atau kewibawaan nyata
yang tidak terbatas dengan cara konstruksi;”rakyat berkuasa, akan tetapi
kekuasaa itu dipindahkan kepada Diraja lewat perjanjian; yang menelan kekuasaan
rakyat, sehingga rakyat tidak dapat menggugatnya lagi.sebab pemindahan
kekuasaan itu tidaklah merupak penyerahan bersyarat (voorwardelijke
overdracht), melainkan merupakan penyerahan tanpa bersyarat dan terhisap
(onvoorwaardelijik geabsorbeerd overdracht).
Dengan demikian sesungguhnya masa Romawi
telah merupakan monarkhi mutlat yang memuat caesarismus akibat konstruksi
Ulpianus, sehingga menimbulkan pengorbanan-pengorbanan di kalangan rakyat
Romawi masa itu.[6]
4.
Masa
Dominat
Masa dominat merupakan masa para kaisar
telah secara terang-terangan tanpa malu-malu menjadi raja mutlak yang bertinak
sewenang-wenang dan menyeleweng tanpa memperhatikan rakyatnya. Contohnya : manusia yang dibakar hidup-hidup,
gladiator atau pertunjukan yang mempertontonkan binatang buas yang terbuka
untuk umum dan ditonton sebagai hiburan kaisar dan pengikutnya sambil memakan
jamuan makanan, sedangkan rakyat Romawi pada masa itu sedang menderita
kelaparan.
Orang-orang Romawi memisahkan Negara
dari masyarakat. Dalam hal Negara diluar masyarakat, kekuasaan Negara berbeda
dengan kekuasaan yang terdapat dalam masyarakat, meskipun emikian social etik
dari rakyatitu harus tunduk kepada Negara disamping berdasarkan hokum, rakyat
benar-benar dijamin hak-haknya dalam masa-masa sebelum prinsipat dan dominat.
Dengan demikian Negara dikonstruksi
sebagai badan hukum atau rechtpersoon dengan ciri-cirinya :
1. Hidup
sendiri
2. Terdapatnya
kepentingan sendiri
3. Kepentingan
itu tidak hanya berbeda, bahkan kepentingan Negara selaku badan hukum itu ada
kalanya bertentangan dengan kepentingan para warganya dan
4. Pimpinan
Negara merupakan penjelmaan dari kemauan Negara yang mempunyai hak-hak seniri,
disamping adanya hak-hak rakyat yang dijain oleh hokum.
Setelah roma berkembang dan dapat
menaklukan daerah yang sangat luas, terjadilah imperium Romawi, dimana paham Zeno
banyak disukai oleh orang-orang Romawi, lalu dibentuk dan diberlakukanlah ius
gentium yan berasal dari kata gent artinya bangsa dan ius artinyahukum. Ius
gentium merupakan permulaan dari hokum antar Negara dan hukum perdata
internasional.
Karena berkembangnya Roma dengan daerah
taklukannya itu, maka hokum pun turut pula berkembang sehingga
Undang-Undang 12 (dua belas) meja itu
tidak dapat menampung persoalan-persoalan yang timbul antara orang-orang Romawi
dengan bangsa lainnya. Untuk mengisi kekosongan tersebut diadakanlah 2 (dua)
macam praetor yaitu :
a) Praetor
urbanus : melakukan pelaksanaan ius civilis yang biasanya termuat didalam
Undang-Undang 12 (dua belas) meja terhadap rakyat Romawi. Apabila ternyata
upaya tersebut tidak memuaskan maka praetor Urbanus diperbolehkan mengadakan :
1. Adivere
(menyesuaikan)
2. Supplere
3. Corrigere
b) Praetor
peregrinus : melakukan pelaksanaan ius gentinum di dalam persoalan antara
rakyat Romawi dengan bangsa lainnya atau antar orang asing dengan orang asing
lainnya. Didalam mengerjakan kewajibannya itu praetor Peregrinus tidak
diperbolehkan menggunakan Undang-Undang 12 meja sehingga ia mengadakan
pengadilan Pur Formulae. Putusannya harus didasarkan pada pertimbangan rasa
keadilan.
5.
Cicero
Pemikir
ini hidup sekitar tahun 106-43 S. M. Ia
mendapat pengaruh dari plato dan teritama sekali dari Zeno. Dituliskan buku-buku yang berjudul De
Republica atau tentang negara dan De Legibus atau tentabf undang-undang yang
melukiskan yang melukiskan pikiran-pikiran ketatanegaraan pada masa imperium
Romawi. Pahamnya menolak paham Epicurus yang bersifat individualistis itu, dimana titik berat terletak kepada
kepentingan perseorangan. Sedangkan
paham Cicero mendapat pengaruh dari paham Zenk yang mendasarkan pahamnya itu
kepada ratio yang murni, dimana hukum
positif harus didasarkan kepada dalili-dalil hukum alam. Oleh karena itu apabila hukum positif tadi
bertentangan dengan hukum alam, maka
kekuatan mengikatnya lenyap.Peraturan-peraturan yang logis dari Roma-lah yang
membawa Pax-Romana atau perdamaian dunia.
Sedangkan pada bidang susunan ketatanegaraan
pun jarus pula disesuaikan dengan ratio-ratio yang murni itu agar tidak usah
meminta pengorbanan-pengorbanan terlalu banyak dari rakyatnya. Karenanya
dianjurkan suatu bentuk negara gabungan diantara ketiga bentuk2 negara itu. Sistem
kenegaraan tersebut hanyalah dapat dipertahankan jika terbentuk corps pegawai
dan tentara yang setia dan suka mengabdi kepda negara.
c.
Masa
Abad Pertengahan
Kebiasaan
untuk memberi batas permulaan abad pertengahan dengan tahun 476 saat runtuhnya
Kerajaan Romawi Barat bagi sebagian ahli adalah tidak tepat. Sebab Agustinus, seorang pemikir besar yang
menciptakan pandangan baru itu hidup setengah abad terlebih dahulu, inghale
praktek kenegaraan dan hukum ditutup dengan kodifikasi “Justinianus” setengah abad kemudian di kerajaan Romawi Timur.[7]
Terjadilah kemudian sifat-sifat khas yang membentuk manusia abad pertengahan,
sebagaimana dilukiskan oleh Beerling
bahwa manusia abad pertengahan tak bebas bergantung kepada berbagai hal
(kolektivitas). Dengan demikian mengambil kata-kata beerling yang mengungkapkan
pandangan umum Eropa bahwa masa pertengahan ialah masa biadab – hingga sampai
sekarang dinamai “the dark ages” - oleh
orang Inggris dianggap sebagai antitesis zaman renaissance.[8]
Abad pertengahan oleh Lamprecht, seorang ahli sejarah bangsa Jerman dilukiskan
sebagai ‘masa yang khas’. Pada mulanya dengan semakin lebarnya pengaruh agama
Kristen, penguasa-penguasa Romawi tak mungkin lagi menghindarinya dan terpaksa
menerima sebagai suatu kekuatan yang nyata, sehingga timbullah problematika
antara negara dan gereja yang dalam perjalanannya gereja tumbuh menjadi sebagai
faktor utama dan berkuasa dalam susunan masyarakat serta kenegaraan. Dimulai
dari sini Eropa membentuk kepribadiannya untuk tahap zaman pertengahan dan
selanjutnya, pembentukan ini didorong pula oleh tumbuh dan berkembang pesatnya
kekuatan ‘Timur’ yang sedang merekah (zaman keemasan bagi kebudayaan Islâm dengan
sistem pemerintahan kekhalifahannya).
Menurut
Hegel, cara berpikir abad pertengahan adalah (teologis–dogmatis) dan
(theocratis–naturalis), pemikir-pemikir yang patut mewakili zaman ini, adalah
sebagai berikut :
Augustinus adalah seorang yang dapat
menyusun pemikiran baru bagaimana abad pertengahan, dengan mengambil
bahan-bahan dari pikiran-pikiran masa Yunani Purba dan pikiran kekristenan.
Pada usia lanjut ia telah di angkat menjadi uskup Hippo Regius di Pantai Afrika
Utara. Buku-buku yang terkenal ialah:
a. Civitas
Dei atau Negara Tuhan
Civitas Dei merupakan kerajaan Tuhan
yang langgeng dan abadi
b. Civitas
Terrena
Merupakan hasil kerja atau keduniawian
yang terdapat di dalam dunia yang kotor dan fana. Civitas Terrena mengabdikan
diri kepada Civitas Dei. Maka di dalam Civitas Terrena terdapat pencampuran
antara agama, ilmu pengetahuan kesenian, dan sebagainya.
Karena itulah maka imperium Romawi
dimisalkan sebagai Civitas Terrena yang tumbuh berkembang dan musnah karena
kejahatan keserakahan hawa nafsu. Untuk mengatasi agar kejadian tersebut tidak
terulang kembali,maka pemimpin negara di haruskan memerintah dengan semangat Civitas Dei, yaitu mempraktekkan dan
menganjurkan agar agama kristen di masukkan ke dalam negara sebagaimana telah
dijalankan Konstantin Theodisius di
konstantinopel.
Dapat disimpulkan bahwa pada waktu itu
yang memegang peranan utama ialah agama. Ilmu pengetahuan dan segala sesuatunya
harus tunduk dan taat kepada agama. Tujuan negara merupakan persiapan bagi negara
Tuhan. Di samping itu justru adanya negara dunia untuk memberantas musuh-musuh
gereja agar dapat tercapai dan tercipta negara Tuhan.
2.
Thomas
Aquino (1225-1274)
Thomas Aquino mengemukakan teori hukum
alam thomistis (thomistisch natuurrecht) yang pada mulanya tidak diindahkan
(diabaikan), tetapi kemudian menjadi dasar hukum yang berlaku bagi golongan
Katolik Roma. Di antara bukunya yang terkenal adalah “Summa Theologic” dan “de
Regimene Proncipu”’. Ia membagi asas hukum menjadi dua jenis, yaitu
Prinsipia Prima atau asas-asas umum yang dengan sendirinya dimiliki oleh
manusia yang berasio sejak saat kelahirannya, mutlak diterima dan berlaku kapan
serta di mana saja seperti di dalam sepuluh perintah Tuhan (Tien Geboden atau
The Ten Command of God). Serta Principia Secundaria (asas turunan dari asas
umum) merupakan tafsiran prima yang dilakukan oleh manusia sendiri menurut
rasionya, bersifat selalu berubah-ubah, serta hanya berlaku pada suatu tempat
dan waktu tertentu. Seiring dengan itu, ia kemudian membagi hukum menjadi empat
golongan, yaitu :
a. Lex Aeterne (hukum abadi), yaitu rasio Tuhan
sendiri yang mengatur segala hal sesuai dengan tujuan dan sifatnya, karenanya
menjadi sumber dari segala hukum.
b. Lex
Divina (hukum ketuhanan), yaitu sebagian kecil rasio Tuhan yang diwahyukan
kepada manusia.
c. Lex Naturalis (hukum alam), yaitu bagian dari
lex divina yang dapat ditangkap oleh rasio manusia atau merupakan penjelmaan
dari lex aeterna di dalam rasio manusia.
d. Hukum
Positif, yaitu hukum yang berlaku dalam masyarakat.
Jika Agustinus berpendapat bahwa pada
dasarnya hubungan antara negara dan gereja terpisah satu sama lain, maka Thomas
Aquino malah menyatakan bahwa negara itu didukung dan dilindungi oleh gereja
demi tercapainya kemuliaan yang abadi.
Ia seorang penyair italia yang terkenal
dan mendapat kedudukan danjabatan tinggi di kota kelahirannya, Florence. Pada
masa hidupnya suasana italia sedang diliputi kemelut pertentangan dan
perjuanagan serta kekacauan kekuasaan. Ia turut dalam perjuanagan untuk beroleh
kekuasaan antara golongan Neri dan Bianchi, yaitu golongan-golongan yang
selalu bertentangan. Dia terus masuk kedalam golongan partai Bianchi, atau golongan Chibellin, ialah partai kaisar melawan
golongan neri. Atau golongan hitam,kaum Guelf,
ialah partai dari Paus. Paus Bonifacius yang dibantu oleh karel dari valois
Prancis, memperoleh kembali kekuasaanya. Semua golongan putih di antaranya
Dante, di usir, dibuang ke Ravenna pada tanggal 27 Januari 1302, dan pada tahun
1321 menemui ajalnya sebagai seorang buangan.
Tujuan Negara menurut pendapatnya adalah
untuk menyelenggarakan perdamaian dunia dengan jalan mengadakan undang-undang
yang sama bagi semua umat. Sekitar tahun 1313 terbitlah bukunya “de Monarchi” yang terbagi dalam tiga
bab, di mana ia memimpikan adanya suatu kerajaan dunia (lawan dari kerajaan
paus) guna menyelenggarakan perdamaian dunia.
f.
Marsiglio
(1270-1340) [11]
Ia yang juga disebut Marsilio lahir di
kota perdagangan Prancis bernama Padua yang juga sering disandingkan menjadi
nama belakangnya, Padua merupakan kota untuk mempelajari falsafah Aristoteles
yang menurut tafsiran berdiri di atas landasan Averroesisme (Averroes adalah
seorang Arab Muslim bernama asli Ibnu Rosjid, yang berjasa menyampaikan ajaran
Aristoteles ke Barat). Dikota kelahirannya, ia memasuki golongan Ghibellin
bersama dengan William Occam (1280-1317) ia dikeluarkan dari gereja oleh paus
di Avignon, dan pergi ke Jerman serta tinggal di lingkungan Kaisar Louis
Bavaria, karena bertentangan dengan Paus Yohannes XXII, maka Louis Bavaria juga
dikeluarkan dari gereja. Pada tahun 1313 Marsiglio menjadi Rektor Universitas
Paris. Ia berpandangan bahwa negara sebagai kekuasaan sedunia hendaknya diganti
oleh negara sebagai pusat kekuasaan yang berdiri lepas dengan hubungan sesuatu
kekuasaan yang lebih tinggi seperti gereja. Meskipun ia tinggal di lingkungan
kaisar, namun tidak membicarakan masalah kekaisaran, bahkan rakyat
diperbolehkan menghukum para penguasa bilamana melanggar Undang-undang.
Marsiglio juga ingin mendemonstrasikan
gereja, yaitu agar Paus dipilih oleh rakyat, lalu kekuasan tertinggi diletakkan
di tangan badan permusyawaratan gereja-gereja (consilie), sehingga gereja
hanyalah mengurus kepentingan kerohanian saja, dan tempatnya tidak lebih tinggi
dari uskup lainnya. Kedudukan gereja berada di bawah negara dan tidak berhak
mengambil alih hak rakyat dalam membuat Undang-undang.
d.
Masa
Renaissance
Zaman ini selalu dipertentangkan dengan
zaman pertengahan karena pada zaman pertengahan berlaku beberapa kebenaran yang
mutlak dan tertentu menurut agama, pandangan dunia bersifat universalitas dan
manusia merupakan bagian dari dunia Kristen yang umum dengan kekuatan gereja
serta wahyu sebagai sandarannya.
Alam pemikiran zaman pertengahan mengandung
hal yang bertentangan, pada masa itu orang menyusun sintesis-sintesis falsafah
teologie yang menerangkan dan mengandalikan segenap kebenaran, tidak ada ilmu
pengetahuan yang bebas, falsafah turun derajatnya menjadi pembicaraan abstrak
menurut aturan yang telah ditentukan (a ancilla theologiae / babu teologi),
pengetahuan empiris nyaris tidak ada yang menjalankan dan eksprimen pun jarang
diketengahkan, bahkan Galileo Galilei yang bersikeras tidak mau mancabut teori
heleosentrisnya dalam memandang susunan tata surya yang bertentang degan teori
geosentris gereja, akhirnya harus menjalani hukuman mati oleh gereja. Kemudian
datang zaman renaissance yang diselingi reformasi atas hegemoni gereja Katholik
Roma, seperti gerakan Martin Luther yang kemudian dalam bidang agama juga
melahirkan Kristen Protestan.
Beberapa pakar yang berpengaruh dari
masa renaissance ini, antara lain :
1. Niccolo Machiavelli
(1469-1527)[12]
Niccolo Machiavelli dalam bukunya II
Principe dalam bab 18 bahwa “penguasa, yaitu pimpinan Negara haruslah mempunya
sifat-sifat seperti kancil dan singa. Ia harus menjadi kancil untuk mencari
lubang jaring dan menjadi singa untuk mengejutkan serigala”. Dunia pada masa
itu merupakan dunia tanpa moral dan saling adu kekuatan sehingga dengan
demikian fiktor kekuasaanlah yang terpenting. Pandangan pada masa itu tidaklah
dititikberatkan kepada fator moral, sehingga yang terpenting adalah vorm dan
materie. Jadi ia dipengaruhi jiwa zaman, menganggap bahwa yang terpenting
adalah dunia yang dialaminya sendiri.
Tujuan Niccolo Machiavelli ialah untuk
mencapai cita-cita atau tujuan politik demi kebesaran dan kehormatan Negara
Italia, agar menjadi seperti masa keemasan Romawi. Untuk itu diperlukan
kekuatan dan kekuasaan yang dapat mempersatukan daerah-daerah sebagai Negara
tunggal. Sebab pada waktu itu Italia terpecah belah atas beberapa kekuatan,
ditambah lagi dengan usaha pihak Spanyol, Prancis dan Jerman yang berkehendak
menguasainya. Dalam usaha kearah itu tidak perlu diingat moral dan kesusilaan
sebab moral dan kesusilaan itu hanyalah merupakn kenangan belaka. Oleh karena
itu tujuan Negara lain dengan masa lampau. Tujuan Negara masa lampau menurutnya
: kesempurnaan, kemuliaan abadi untuk kepentingan perseorangan berupa
penyempurnaan diri manusia. Sedangkan tujuan Negara sekarang menghimpun dan
mendapatkan kekuasaan yang sebesar-besarnya.
Raja atau pimpinan Negara boleh berbuat
apa saja asalkan tujuan bisa tercapai. Ajaran Niccolo tersebut disebut dengan
Negara kekuasaan (machts-staatsgedachte), ajaran ini menjelma dan timbullah
pengertian realpolitik berdasarkan sikap yang nyata, karena itu disebut juga
Machiavellismus. Politik dijalankan engan tiada memperhitungkan faktor moral,
sehingga amat sangat berbahaya bagi ilmu politik maupun prakteknya. Dari teori
tersebut, ia lebih mendapat nama buruk dari pada termasyur.
2. Jean Bodin (1530-1596)
Pada masa pertengahan orang belum
memikirkan dan mengenal bentuk pemerintahan absolut. Pemerintahan absolut
itulah yang dirumuskan dan dibenarkan serta diberikan landasan hukumnya oleh
Jean Bodin lewat karyanya Les Six Livres de la Republique. Ia seorang pemikir
yang mengerti benar-benar praktek-praktek hidup dan mendasarkan pendapatnya itu
atas penyelidikan-penyelidikan peristiwan dalam sejarah, karenanya ia mengerti
kecenderungan akan pemerintahan absolut serta paham aka nilainya. Walau
demikian terdapat perbedaan paham dengan Niccolo Machiavelli, sebab terletak
atas pengakuannya bahwa hukum itu mengandung moral dan moral itu tidak boleh
diabaikan. Dilihatnya kekuasan yang terpusat pada Negara yang makin lama makin
tegas tampak dalam bentuk kekuasaan raja. Karena itu disimpulkannya, bahwa
dasar pemerintahan absolut terletak dalam kedaulatan yaitu kekuasaan raja yang
superior. Jadi kedaulatan itu puissance absolue atau kekuasaan mutlak yang
terletak didalam tangan raja dan tidak dibatasi oleh Undang-Undang. Karena yang
memuat Undang-Undang itu raja, maka tidak mungkin pembuatnya diikat oleh
buatannya sendiri. Namun berhubung terdapatnya hukum alam atau Leges Imperi.
Maka dengan demikian tidak terdapatlah kedaulatan mutlak, melainkan kedaulatan
terbatas baik didalam maupun diluar wilayah Negara atau dengan istilah-istilah
hokum zaman sekarang suatu kedaulatan yang dibatasi oleh hak-hak pokok manusia
dan oleh hokum yang ebrlaku dalam pergaulan antar Negara (hukum antar Negara).
Dengan demikian maka pengertian kedaulatan yang bersifat komperatif diubah
menjadi superlatif. Diuraikan secara tegas oleh Jean Bodin, raja-lah yang
berdaulat serta kedaulatan itu menjadi sifat dan tanda Negara. Dari hal
tersebut Jean Bodin disebuat sebagai “bapak ajaran kedaulatan”.
3. Aliran Monarchomachen
Monarchomachen artinya pembenci raja
atau para musuh raja, namun pengertian ini menurut Prof. Dr. Syahran Basah,
S.H., C.N. tidaklah mengenai sasarannya, karena hanya ditujukan pada perlawanan
terhadap keburukan-keburukannya yang tertentu saja juga tidak kepada
pemerintahan yang bersifat absolute atau terhadap rajanya sendiri.
Dua hal pokok dari ajaran golongan
monarchomachen, ialah :
a. memberi
dasar baru kekuasaan raja, berhubung raja tidak lagi seperti Tuhan Yang Maha
Adil.
b. memberi
landasan bagi rakyat bilamana raja bertindak sewenang-wenang dan melampaui
batas-batas kekuasaannya. Maka rakyat diberi dasar untuk mengadakan perlawanan.
Para
tokoh gologan ini, yaitu antara lain :
·
Hotman dengan karya “Franco Gallia” yang menetang
absolutisme berdasar histories bukan teologis, tahun 1573,
·
Brutus dengan buah
tangan “Vindiciae contra Tyranos” alat-alat hukum melawan raja-raja yang
sewenang-wenang, tahun 1579,
·
George Buchanan dengan
tulisan “De Jure regni apud Scotos”
tentang kekuasaan raja pada bangsa Skot,
·
Johan Althaus /
Johannes Althusius; dengan tajuk karangan
“Pilitica Methodice Digesta” susunan ketatanegaraan yang sistematik,
·
Juan de Mariana dengan
karangan “De Rege ac Regis Institutione”
tentang hal raja dan kedudukannya, tahun 1599,
·
Bellarmin (1542-1621)
yang menyatakan bahwa menurut bentuk teori negara yang baik adalah monarkhi
absolute, akan tetapi kenyataan dalam praktek menimbulkan keadaan yang
sebaliknya karena kemerosotan akhlak manusia,
·
Francesco Suarez
(1548-1617); sarjana Spanyol dengan buku “Tractatus
de Legibus as De Regislatore” uraian tentang Undang-undang dan Tuhan,
Pembentuk Undang-undang, tahun 1613,
·
John Milton yang
menyetujui pelaksanaan hukuman mati terhadap raja Inggris Charles I, dan
·
John Knox pemimpin
aliran Kalvin di Skotlandia
·
e.
Masa
Hukum Kenegaraan Positif (Pertumbuhan dan Perkembangan aliran Deutsche
Publisizten)
Dengan timbulnya ajaran atau paham
kedaulatan negara (staats souvereiniteit), maka perkembangan memasuki babak
ketiga. Tumbuh dan berkembang, sebab dari paham kedaulatan negara itu timbul
adanya staatsrechtsdogmatiek atau disebut wetenshap van het positief
staatsrecht yaitu ilmu pengetahuan mengenai hukum kenegaraan positif.
Hal ini merupakan pengaruh dari aliran Legisme
yang pada masa pikiran rasionalistik banyak pengikutnya disebabkan dasar
ajarannya sesuai dengan dan dapat diterima rasio waktu itu, yaitu :
1) Bahwa
peraturan perundang-undangan menjadi hukum sebab merupakan hasil pekerjaan
badan pembentuk Undang-undang atau badan legislatif yang mempergunakan
rasionya.
2) bahwa
hukum kebiasaan tidak dapat diterima sebagai hukum yang sungguh-sungguh karena
tidak sesuai dengan sifat hukum alam yang berlaku di mana-mana dan tidak berubah,
sedangkan hukum kebiasaan itu sifatnya berbeda-beda bergantung kepada tempat
dan waktu.
Anggapan di atas sesuai dengan
ajaran-ajaran perjanjian masyarakat (social contract) dari Thomas Hobbes
(1588-1679), John Locke (1632-1704), dan Jean Jacques Rousseau (1712-1778).
Pada pokoknya ajaran itu mendasarkan pahamnya berlandaskan hukum alam yang
bersifat “rasionalistis individualistis”dan
logis, yang pada masa sebelumnya telah dirintis oleh Hugo de Groot atau Grotius
yang mengubah landasan hukum alam berasal dari agama ke rasio. Kemudian lewat
trias politica Charles Secondat baron de Labrede et de Montesquieu (1688-1755)
yang pada dasarnya bahwa suatu kaidah baru merupakan kaidah hukum bilamana
kaidah tersebut dibuat dan ditentukan oleh badan kenegaraan yang diserahi tugas
dan kekuasaan legislatif.
Masa
hukum kenegaraan positif terdiri dari tiga fase yaitu :
1.
Fase
Pertama : KF von Gerber dan Paul Laband
Aliran Deutsche Publizten Schule yang
dipelopori oleh Von Gerber timbul sebagai reaksi, baik terhadap hukum Romawi
maupun terhadap hukum alam.
·
Reaksi
terhadap hukum Romawi:
Baik sebelum maupun pada waktu
penyelidikan mengenai hukum bergantung kepada hukum perdata. Hal ini di
sebabkan karena terlalu memandang hukum perdata Romawi, dengan demikian metode penyelidikan
yang di pergunakan pada waktu itu dikonstruksi sedemikian rupa menurut cara
hukum perdata. Pengaruh yang demikian besarnya itudisebabkan karena
perkembangan hukum Romawi itu sendiri, yang melazimkan secara paksa
segala-galanya ke dalam sistem hukum Romawi. Untuk mengetahui pengaruh yang
demikian besarnya itu dari hukum Romawi maka perlu serta patutlah diketahui
perkembangan hukum Romawi.
Timbullah reaksi yang menghendaki agar
cara menjalankan hukum publik janganlah disesuaikan dengan cara yang dilakuakan
terhadap hukum perdata. Hal ini berarti bahwa bagi hukum publik sewajarnya
mencari objek dan metode tersendiri yang serasi dengan sifat-sifat hukum publik
sendiri, sehingga hukum publik akan dijadikan ilmu pengetahuan yang berdiri
sendiri. Karena hukum perdata mengurus dan mengatur hubungan hukum antara orang
terhadap orang lain, maka bersifat koordinasi. Sedangkan hukum publik mengurus
dan mengatur perhubungan hukum antara penguasa dengan orang-orang satu sama
lainnya,sehingga bersifat subordinasi.
·
Reaksi
terhadap hukum alam:
Sebagaimana diketahui hukum alam telah
membedakan antara kodrat manusia dan kodrat benda. Baik untuk kodrat manusia
maupun untuk kodrat benda dipakai metode penelitian deduktif, dengan pikiran
murni dapat dipikirkan apa yang menjadi isi budi Tuhan. Dan kemudian pada
penelitian budi Tuhan itu diketemukanlah hukum alam.Sifat positief recht (hukum
positif) itu relatif, disebabkan tidak terdapa hukum yang bersifat abadi dan
langgeng seperti hukum alam. Hal ini disebabkan karena berlain-lainannya :
1) Waktu,
baik telah lampau,sekarang, dan dengan yang akan datang;
2) Tempat
dan keadaan (gesteldheid) di sini dengan tempat dan keadaan di sana;dan
3) Bangsa
yang satu dengan bangsa yang lainnya.
Hukum
tidak kekal sifatnya tetapi berubah menurut tempat dan zaman. Isi hukum di
tentukan oleh perkembangan adat-istiadat rakyat dalam sejarah. Isi hukum
ditentukan oleh sejarah masyarakat manusia dimana hukum itu berlaku. Sehingga
akhirnya ia mendalilkan bahwa Das recht
wird nich gemacht, aber es ist und wird mit dan Volke, (Hukum itu tidak
dibuat, melaikan ada dan menjadi bersama-sama dengan rakyat)
2.
Fase
kedua: Bluntschli dan Georg Jellinek
Ketika Bluntschli, seorang mahaguru
dalam mata kuliah ilmunegara di UniversitasbHeidelberg di Negara Jerman mengundurkan
diri, maka untuk selama5 tahun dicari penggantinya. Akhirnya pilihan jatuh pada
muridnya, yaitu Georg Jellinek yang mendapat kehormatan menjadi mahaguru
ordonaris dalam mata kuliah ilmu negara. Meskipun Georg Jellinek termasuk paham
kedua dari perkembangan positivisme, pandangannya terhadap negara tidak
semata-mata nur yuridis belaka,tapi memperhatikan juga faktor-faktor
“non-yuridis.” Zweiseuten Theori, yaitu suatu teori yang memandang negara dari
2 segi, ialah :
1) Segi
sosiologis:
Yaitu
suatu pandangan yang membicarakan negara sebagai gejala peristiwa sosial atau
soziales Faktum; dan
2) Segi
Yuridis:
Yaitu
suatu pandangan yang membicarakan negara sebagai bangunan-bangunan
(lembaga-lembaga) hukum atau rechsliche institution.
3.
Fase
ketiga: Hans Kelsen
Paham ketiga dari perkembangan
positivisme diwakili oleh Hans Kelsen itu dipimpin dari mazhab atau aliran
hukum Wina yang merupakan kelanjutan dari mazhab Malburg yang di pimpin oleh
cohen.
Hans kelsen menyebutkan “ bahwa hukum
itu merupakan kumpulan kaidah-kaidah (normen) yang bersifat memaksa. Dan lewat reine Rechtslehre atau ajaran hukum
murni, hukum itu harus diberikan dari faktor-faktor non yuridis,terutama faktor
sosiologi dan etis. Hukum itu harus ditaati dan menentukan pedoman tingkah laku
manusia apa yang seharusnya di jalankan dan tidak dijalankan – normatis - ,
disebabkan merupakan perintah dan kehendak negara atau wile des staates. Negara
itu merupakan persekutuan susunan zwangsordnung, yaitu yang dipertahankan oleh
paksaan yang mengandung hak memerintah dan terdapat kewajiban manusia untuk
seharusnya menaati perintahnya itu. Maka negara sama atau identik dengan hukum,
sebab ketertiban negara merupakan personifikasi dari ketertiban hukum. Berdasarkan
pandangan yang demikian atas sifat hakikat negara itu terjadilah apa yang
disebut Der Ataat ist Zurrechtnungpunkt
atau negara itu merupakan titik pertanggungjawaban terhadap undang-undang atau
tat hukum. Jadi negara adalah badan yang memberikan sanksi dan yang bertanggung
jawab.
Hans kelsen menganggap bahwa negara itu
merupakan kesatuan tata hukum atau normordening (behorenordening), yaitu tat
yang memberi pedoman terhadap tingkah laku manusia apa yang seharusnya
dijalankan dan tidak dijalankan. Oleh karena itulah menurut pendapatnya, ilmu
negara dalam setiap pembahasannya menerangkan dan bentuk-bentuknya harus
menghindarkan diri dari metode Kausalgenitis
atau sebab musab.
f.
Masa
ilmu politik sebagai ilmu yang berdiri sendiri
Ilmu politik dianggap sebagai ilmu yang
beridri sendiri dikemukakan oleh Hermann Heller, seorang sarjana abad XX yang
terkenal dan berani melancarkan serangan dan kritik, baik terhadap George
Jellinek maupun muridnya, Hans Kelsen. Secara keseluruhan reaksinya itu ditujukan
kepada aliran positivisme yang selama itu pendapatnya didukung sebagai
‘Communis opinie doctorum’ yang telah menjadi pendapat umum di kalangan para
cerdik pandai (cendekiawan). Dikatakan menentang pendapat yang telah menjadi
pendapat umum, karena pada waktu itu pengaruh George Jellinek yang juga disebut
sebagai Bapak Ilmu Negara sangatlah besar. Karena keberanian, kesadaran akan
teori dan keasliannya itulah, maka Paul Scholten selaku nestor (grootmeester)
pertama di lapangan ilmu hukum dari Universitas Amsterdam berkata tentang diri
Hermann Heller, di dalam bukunya yang berjudul ‘Verzemelde Geschriften’ bahwa
Hermann Heller adalah politikus asli yang paling baik di dalam lapangan teori
hukum dan teori negara. Hermann Heller termasuk salah seorang pemimpin mazhab
Baden yang dipimpin oleh Dilthey, yang merupakan pecahan dari Neo
Kantiaanserichting sebagaimana mazhab Malburg.
Dalam mengejar dan mengarahkan diri
kepda nilai-nilai mutlak manusia hanya mencapai dan berada dalam dunia
kebudayaan yang terdiri atas dua bentuk:
1. Bentuk
kasar atau prailmu pengetahuan yang mengandung:
a) Pikiran
rakyat;dan
b) Bahasa
rakyat.
2. Bentuk
khusus ilmu pengetahuan yang mengandung:
a) Ilmu
pengetahuan;
b) Etika;
dan
c) Estetika.
Adalah barang mustahil bagi manusia
untuk mencapai kebenaran sejati,sebab manusia adalah manusia dengan segala
cacat-cela yang ada padanya,tiada upaya. Staatslehre Herman Heller dapat
dilihat dari 2sisi yaitu:
1. Dari
Sudut Positif
Yaitu sebagai reaksi terhadap Georg
Jellinek yang mengangggap ilmu politik merupakan ilmu pengetahuannya yang tidak
berdiri sendiri,karena hanya mempraktekan segala hasil penelitian yang
diperoleh ilmu negara untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
2. Dari
Sudut Negatif
Yaitu melancarkan kritik terhadap Hans
Kelsen pada bukunya yang berjudul Allgemeine Staatslehre dan Reine Rechlehre.
BAB III
PENUTUP
a.
Kesimpulan
Ilmu
Negara adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki asas-asas pokok dan pengertian-pengertian pokok tentang Negara
dan hukum tata Negara.
Masa
Yunani Purba:
·
Socrates (470-399 SM)
Socrates berpendapat bahwa negara bukanlah organisasi yang dibuat untuk
kepentingan pribadi. Negara adalah suatu susunan yang objektif bersandarkan kepada sifat hakikat manusia dan
bertugas untuk melaksanakan hukum yang objektif yang memuat keadilan bagi
masyarakat umum.
·
plato(±428/427-348/347 SM) Menurut Plato, asal
mula negara adalah karena banyaknya
kebutuhan hidup dan keinginan manusia dan manusia tidak mampu memenuhi seluruh
kebutuhan dan keinginannya.
·
Aritoteles(384-322 SM)
Aristoteles hanya mengakui adanya satu dunia Berkaitan dengan terjadinya
Negara, menurut Aristoteles, manusia berbeda dengan hewan sebab hewan dapat
hidup sendiri sedangkan manusia sudah dikodratkan untuk hidup dengan manusia
lain.Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,manusia membutuhkan manusia lain.
·
Zeno (300 SM) Hasil
dari aliran stoazijnen, maka timbul dalam kebudayaan Yunani apa yang disebut
"hukum alam" atau "hukum asasi" (natuurrecht).
·
Polybius(204-122 SM)
Menurut Polybios, proses perkembangan, pertumbuhan dan kemerosotan bentuk- bentuk
negara secara psikologis bertalian dengan sifat-sifat manusia menurut ajaran
Aristoteles, yaitu bahwa tidak adanya bentuk negara yang abadi disebabkan
karena terkandung benih-benih pengrusakan, seperti pemberontakan, revolusi dll.
Masa
Abad pertengahan :
·
Augustinus (354-430).
Pada
waktu itu yang memegang peran utama adalah agama. Ilmu pengetahuan dan segala
sesuatunya harus tunduk dan taat kepada agama. Tujuan Negara merupakan
persiapan untuk Negara Tuhan.
·
Thomas Aquino
paham
Thomas Aquino Negara itu didukung dan dilindungi oleh gereja demi tercapainya
kemuliaan yang abadi, sehingga ada hubungan kerja sama antara negara dengan
gereja.
·
Dante Alighieri.
(1265-1321)
Tujuan
negara menurut pendapatnya adalah untuk menyelenggarakan perdamaian dunia
dengan jalan mengadakan hukum yang sama bagi semua umat.
·
Marsiglo di Padua
(1270-1340)
Ia
berpandangan bahwa Negara sebagai kekuasaan sedunia diganti oleh negara sebagai
pusat kekuasaan tetap yang berdiri lalu dengan hubungan sesuatu kekuasaan yang
lebih tinggi seperti gereja.
Masa
Romawi
·
Masa Kerajaan
·
Masa Republik
·
Masa Prinsipat
·
Cicero
Masa
Renaissance
·
Niccolò Machiavelli
(1469-1527)
Tujuannya
adalah untuk mencapai cita-cita atau tujuan politik demi kebesaran dan
kehormatan Negara Italia, agar menjadi seperti masa keemasan Romawi.
·
Jean Bodin
(1530-1596)
Ia
seorang pemikir yang mengerti benar praktek-praktek hidup dan mendasarkan pendapatnya
itu pada penelitian-penelitian peristiwa dalam sejarah, karenanya ia mengerti
kecenderungan akan pemerintahan absolute dan paham akan nilainya.
·
Aliran Monarchomachen.
Artinya
pembenci raja atau musuh-musuh raja. Pengertian tersebut tidak mengenai
sasaran, karena hanya ditujukan pada pertandingan terhadap
keburukan-keburukannya yang tertentu saja juga tidak kepada pemerintahan yang
bersifat absolute atau terhadap rajanya sendiri.
Masa
Hukum Kenegaraan Positif
·
Fase pertama: KF von
Gerber dan Paul Laband
·
Fase kedua: Bluntschli
dan Georg Jellinek
·
Fase ketiga: Hans
kelsen
Masa
Ilmu Politik sebagai Ilmu yang berdiri sendiri
Dalam
mengejar dan mengarahkan diri kepada nilai-nilai mutlak manusia hanyalah
mencapai nilai-nilai mutlak itu manusia hanyalah mencapai dan berada dalam
dunia kebudayaan yang terdiri atas dua bentuk:
1. Bentuk kasar atau prailmu pengetahuan
yang mengandung:
a. Pikiran Rakyat; dan
b. Bahasa rakyat.
2. Bentuk khusus atau ilmu pengetahuan yang
mengandung:
a. Ilmu pengetahuan;
b. Etik;
c. Estetika.
b. saran
Saran
kami terutama bagi pembaca atau generasi bangsa agar dalam membaca makalah ini
menjadi tertantang untuk menjalankan cita-cita bangsa serta menjaga keutuhan
negara tercinta kita yaitu Bangsa Indonesia sehingga keindahannya selalu
terjaga. Makalah ini juga bisa menjadi
patokan bahwa sampai mana kemampuan bangsa ini agar kita bisa melestarikannya.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Sumber Buku
Prof.
Dr. Sjachran Basah, S.H., CN. Ilmu Negara (Pengantar, Metode, dan Sejarah
Perkembangan)
H.
Cecep Wiharma, SH, MH. Pendidikan Kewarganegaraan
2.
Referensi lain
https://irwanasolole.wordpress.com/2011/11/07/ilmu-negara/
(di Akses tanggal 14 februari 2017)
https://googleweblight.com/?lite_url=https://armawanpena.wordpress.com/kumpulan-makalah/kajian/filsafat/kaum-shopis/&ei=_e3wzyp&lc=en-ID&s=1&m=71&host=www.google.co.id&ts=1486988176&sig=AJsQQ1Au3YHVZAa7um2ilmPMA2jtmuikTA
(Di akses tanggal 15 februari 2017)
http://www.academia.edu/9810408/sejarah_ilmu_negara
(Di akses pada tanggal 15 februari 2017)
[1] R.F Beerling: “Filsafat dewasa ini” dialihbahasakan oleh Hasan Amin
Dinas penerbitan Balai Pustaka – Jakarta – cetakan ketiga – 1961. Hal 15.
[2] Sukarno: “ Sari pandangan sarjana-sarjana tata negara seluruh
dunia”-penerbit toko buku A.R.C. Salim – Malang – Agustus 1952, hal 7-9 J.J Von
Schmid/R. Wiratnodan djamaluddin Dt. Singomangkuto: “Grote denkers over staat
en recht”- (van Plato tot kont) - /”Ahli-Ahli pemikir besar tentang negara dan
hukum” – (dari plato sampai kont) – P.T. Pembangunan – Jakarta,1954 hal. 11-12.
Will Durant, alihbahasa oleh helena C. Pos, dengan judul: “Van socrates tot
bergson”- disertai kata pengantar dari H.J Pos – L.J.C. Boucher – den Haag
1950.
[3] R.M. Mac Iver, op.cit., hal. 14.
[4] Sunarko, op.cit., hal.13-16.
J.J.Von Schmid/Wiratno dan djamaluddin Dt.
Singomangkuto, op.cit., hal.27-42.
Will Durant, op.cit,. hal. 49-93 dan
lihat pula hal. 3, 30, 42, 49f, 104f, 117, 127f, 139, 150, 185, 188, 316, 333,
408, 489, 492.
M.L. Bodleader, op.cit., hal. 47-121.
Helena C. Pos, op.cit., hal. 62-110.
Saxe commins and Robert N. Linscoft,
op.cit,. hal. 3-126.
[5] J.J. Von Schmid, op.cit., hal. 52-54
R. Kranemburg/Tk. B. Sabaroedin,
ip.cit., hal. 81-89/90-99
[6] Bandingkan dengan “sendi keseimbangan” yang merupakan “abstractenorm”
dari Ulpianus,bahwa:
1. Honeste vivere atau hiduplah jujur;
2. Alterum non laedere atau janganlah berbuat yang bersifat merugikan
sesama maunusia lainnya; dan
3. Suum suiqum tribuere atau bersikaplah adil
[7] J.J Von schmid/Wiratno dan Djamaluddin Dt. Singomangkuto, op.cit.,
hal.59.
[8] R.F.Beerling:”Pertumbuhan Dunia Modern” Jilid I – Percetakan Pustaka
Rakyat N.V – Jakarta, hal. 40-41
[9] Sunarko, op.cit., 21-22.
J.J. Von Schmid/Wiratno dan Djamaluddin Dt.
Singomangkuto, op.cit., hal 65-71.
M.L Bodlaender, op.cit., hal. 121-125
[10] Sunarko: op.cit., hal. 29-30
J.J. Von Schmid/Wiratno dan Djamaluddin Dt. Singomangkuto, op.cit., hal
91-95
M.L Bodlaender, op.cit., hal. 149-156
[11] S. Mok:” Marsillius van Padua, een bijdrage tot de geshiedenis der
staasleer”dalam “Staatswetenschappelijke Optellen” op.cit., hal. 1-29
[12] Sunarko; op.cit,. hal. 34-35.
J.J VON Schmid/R.wiratno dan Djamaludin
Dt. Singomangkuto; op.cit., hal. 107-115
M.L. Bodlaender: op.cit., hal. 166-192.
Lihat pula: Ossip K. Flechtheim:
“Fundamentals of Political Science”; Joseph S. Roncek:
“Introduction to politics”
Jangan lupa tinggalkan komentar yah :D
“Introduction to politics”
Jangan lupa tinggalkan komentar yah :D
0 comments :
Post a Comment