Friday, April 28, 2017

Contoh Makalah Ilmu Negara (Sejarah Ilmu Negara)












BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pertumbuhan dan perkembangan suatu ilmu pengetahuan pada dasarnya bebas untuk berpikir dan menyatakan hasil berpikir dari manusia itu. Karena itu jikalau ada kebebasan menyatakan pendapat dan merupakan hasil pemikiran kemasyarakatan luas, harus ada hal-hal yang menyebabkan sampai dilakukan penyelidikan. Biasanya ada keadaan yang tidak sesusai dengan pandangan hidup di dalam masyarakat itu. Demikianlah ilmu itu tumbuh dan berkembang. Karena itulah ilmu adalah lambang yang utama dari kemajuan[1]
Ilmu tidak dapat dipisahkandalam kotak-kotak terpaku , oleh karena itu sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan sosial umumnya harus bekerja sama dengan cabang-cabang ilmu pengetahuan sosial lainnya karena dapat memberi dan menerima pengaruhnya dan bantuan satu sama lain yang saling memerlukan dan saling mengisi. Karenanya akan lebih bermanfaat bila memahami objek yang diselidiki diantara cabang-cabang ilmu pengetahuan sosial dll. Metode dan teknik ilmu pengetahuan sosial pada umumnya dipergunakan pula oleh hampir semua cabang-cabang ilmu pengetahuan sosial pada khususnya. Dalam hubungan khusus antara ilmu negara dengan cabang ilmu pengetahuan sosial lainnya dimaksudkan adanya hubungan yang pada pokoknya dititik beratkan dan digolongkan kepada objek penyelidikan yang sama yaitu negara. Hal ini terutama nampak dengan jelas hubungan khusus antara ilmu negara dengan ilmu politik, ilmu hukum tata negara dalam arti luas dan ilmu perbandingan hukum tata negara. Ilmu negara sebagai salah satu cabang ilmu ketatanegaraan di dalam prosesnya sebagai ilmu itu. Mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan. Dalam kaitan ini akan melihat kepada ilmu induknya yaitu ilmu ketatanegaraan dengan para pemikirnya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari ilmu negara?
2.      Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan ilmu negara dengan beberapa pemikirnya
C.    Tujuan
1.      Untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Ilmu Negara
2.      Untuk mengetahui tentang pengertian dari ilmu negara
3.      Untuk mengetahui bagaimana pertumbuhan dan perkembangan ilmu negara dengan beberapa pemikirnya

D.    Metode Analisis
Dengan mempelajari buku-buku dan mencari data melalui media internet yang berkaitan dengan makalah ini sehingga menghasilkan data-data yang lengkap dan relevan.











BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ilmu Negara
 istilah ilmu Negara diambil dari istilah bahasa belanda staatsleer yang diambilnya dari istilah bahasa jerman,staatslehre.Timbulnya istilah ilmu Negara atau statsleher sebagai istilah teknis,adalah sebagai akibat penyelidikan dari seorang sarjana jerman bernama George  jellinek. Ia terkenal disebut sebagai bapak ilmu Negara. Ilmu Negara adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki asas-asas pokok dan pengertian-pengertian pokok tentang Negara dan hokum tata Negara. George Jellinek memandang ilmu negara sebagai suatu keseluruhan dan membaginya ke dalam bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain. Di Indonesia, universitas yang pertama kali menggunakan istilah Ilmu Negara adalah Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Menurut Kranenburg, Ilmu Negara adalah ilmu tentang negara, dimana diadakan  penyelidikan tentang sifat hakekat, struktur, bentuk, asal mula, ciri-ciri serta seluruh persoalan di sekitar negara. Selanjutnya, Kranenburg berpendapat bahwa Ilmu Negara merupakan cabang  penyelidikan ilmiah yang masih muda walaupun menurut sifat dan hakekatnya merupakan cabang ilmu pengetahuan yang tua karena sebenarnya Ilmu Negara sudah dikenal sebagai suatu ilmu pengetahuan sejak zaman Yunani Kuno.
 Ilmu negara adalah ilmu yang menyelidiki pengertian-pengertian pokok dan sendi-sendi pokok dari negara dan hukum negara pada umumnya. Pengertian menitik beratkan pada suatu pengetahuan, sedangkan sendi menitik beratkan pada suatu asas atau kebenaran. Ilmu negara mempelajari negara secara umum, mengenai asal-usulnya, wujudnya, lenyapnya, perkembangannya dan jenis-jenisnya


B.     Pertumbuhan Dan Perkembangan Ilmu Negara Dengan Beberapa Pemikirnya
a.      Masa Yunani Purba
Sepanjang pengetahuan menurut pandangan dunia keilmuan barat (Eropa), penyelidikan tentang negara timbul dan berkembang setelah di Yunani Purba mengalami pemerintahan yang demokratis, di mana setiap orang bebas untuk menyatakan hasil pikiran dan isi hatinya, sehingga penyelidikan tentang ilmu negara bertepatan sekali dengan kebudayaan Yunani Purba. Negara-negara di dalam kebudayaan Yunani Purba pada waktu itu masih bersifat polis-polis atau the Greek state yaitu pada mula pertamanya merupakan suatu tempat di puncak suatu bukit. Lama kelamaan orang-orang banyak yang tinggal di tempat itu dengan jalan mendirikan tempat tinggal bersama, berupa rumah-rumah dan kemudian tempat tersebut di kelilinginya dengan suatu benteng tembok untuk menjaga serangan musuh dari luar. Pemerintah dalam polis merupakan hal yang tinggi, karena di atas polis tidak ada lagi suatu organisasi kekuasaan lain yang menguasai danmemerintah polis itu. Inilah letak keistimewaan dari polis, organisasi yang mengatur hubungan antar orang se-Polis itu tidaklah hanya mempersoalkan hubungan organisasinya saja melainkan juga mempersoalkan mengenai hidup kepribadian orang-orang yang hidup di sekitarnya. Oleh karena itu terdapat campur tangan organisasi yang mengatur polis. Karena polis di samakan (identiek) dengan masyarakat negara atau negara, maka polis merupakan negara kota( standstaat atau citystate),yang dalam istilah lain disebut juga dengan Athenian State. Sehubungan dengan hal tersebut di kalangan pemerintahan lazimnya berwujud demokrasi langsung atau directe demokratie( direct-democracy atau klassieke democratie) rakyat di dalam polis ikut serta secara langsung menentukan beleid kebijaksanaan pemerintah atau adanya direct government by all the people. (3) oleh karena itu turut sertanya rakyat di dalam pemerintahan merupakan ciri mutlak dari demokrasi. Dan turut sertanya rakyat secara langsung ini dalam pemerintahan merupakan corak khas yang di dapatkan di dalam kebudayaan Yunani Purba. Selain turut serta secara langsung dalam pemerintahan, rakyat (waga kota atau citizen) juga yang melakukan pengawasan dengan jalan musyawarah rakyat (aclesia yang dalam istilah romawi disebut cometia). Beberapa pemikir atau filsuf yang hidup pada masa itu, antara lain :

1.      Socrates ( 470 - 399 SM)[2]
Pada masa itu terdapat kesempatan yang baik untuk menyatakan hasil berpikir di sebabkan ada kebebasan berpikir dan tidak ada kalangan-kalangan yang bersifat mengharuskan. Di tambah lagi dengan kemenangan yunani terhadap persia,sehingga meninnggikan martabat Yunani, perasaan kebangsaan mulai tumbuh. Kemakmuran tumbuh, berkembang dan di rasakan sebagai hasil pelajaran serta perdagangan. Di samping itu pengetahuan terhadap dunia luar makin di perluas. Juga sifat agamanya, keadaan geografis dan bentuk “Negara”-nya. Akan tetapi di dalam keadaan serba mewah dan gilang gemilang itu, bersemanyamlah para pembesar negara yang melupakan tugas dan kehilangan rasa susilanya, sehingga timbullah di sana-sini tindakan-tindakan yang bersifat bersimaharaja, sewenang-wenang, korupsi, pemerasan, dan tindakan-tindakan lainnya yang bersifat tidak adil. Di tengah suasana demikian itu bermunculanlah para filsuf dari luar negeri terutama dari daratan Asia kecil karena baginya hal tersebut merupakan kesempatan besar untuk menjual ilmunya di Yunani. Mereka itu tergolong kaum sophis dan alirannya di sebut sophisme.
Kaum sophis ini menyebarkan dan menganjurkan paham-paham mengenai hukum, keadilan serta negara yang sifatnya merusak masyarakat sebagaimana Thrasymachus mengajarkan, bahwa: Justice is the interest of the stronger (keadilan itu merupakan keuntungan atau apa yang berguna daripada yang lebih kuat).[3] Demikian mereka menjilat, mengelus-ngelus dan meninabobokan pembesaran-pembesaran negara yang memegang kekuasaan dan bersifat seperti “Rahwana” sebagai inkarnasi dari segala kedholiman dan angkara murka, dengan jalan mengajarkan, bahwa keadilan di dalam negara merupakan segala hal yang menguntungkan bagi para pengusaha negara. Jadi hukum bersifat subjectif, yaitu terserah dan bergantung kepada siapa siapa yang secara kebetulan memegang kekuasaan, ialah siapakan yang membentuk hukum dan siapakah pula yang menjalakan hukum danmengadil itu. Maka barang mustahillah adanya keadilan yang bersifat objektif berlaku bagi setiap manusia. Barang siapa yang akan menjalankan hukum melarapkan keadilan sebagaimana mestinya, akan mendapat derita dan nestapa. Tapi barangsiapa menjalankan hukum melarapkan keadilan yang sejalan dan sesuai dengan kehendak para penguasa negara, akan mendapat pahala besar. Jelaslah jalan yang terbaik “menjalankan kebathilan, akan tetapi bertopeng keadilan”.
Di tengah keadaan dan suasana yang memperkosa hukum, meninjak injak dan mempersundal perikemanusian yang amat sangat membahayakan negara, maka muncullah socrates laksana penjelma “ Sri Rama” untuk berjuang memberantasnya dan mengikisnya dengan tiada gentar sedikitpun di mana saja dia berdiam serta kapan saja dia berada . Cara kerja socrates, yaitu dengan metode dialektis atau “tanya jawab” (dialog), dengan itu mencoba mencari pengertian-pengertian tertentu, yaitu mencari dasar-dasar hukum dan keadilan” yang sejati bersifat objektif dan dapat dijalankan serta diterapkan kepada setiap manusia.”
Menurut pendapatnya bahwa dalam hati kecil setiap manusia terdapat hukum dan keadilan sejati sebab setiap manusia adalah bagian dari nur/cahaya Tuhan. Walaupun seringkali tertutup oleh sifat-sifat buruk namun rasa hukum dan keadilan sejati dalam hati kecil manusia tetap ada. Selanjutnya, Socrates berpendapat bahwa negara bukanlah organisasi yang dibuat untuk kepentingan pribadi. Negara adalah suatu susunan yang objektif bersandarkan kepada sifat hakikat manusia dan bertugas untuk melaksanakan hukum yang objektif yang memuat keadilan bagi masyarakat umum. Oleh karena itu negara harus berdasarkan keadilan sejati agar manusia mendapatkan ketenangan. Namun, sangatlah disesalkan serta di sayangkan ajaran socrates tersebut pada tahun 399 S.M. di pandang serta di anggap berbahaya bagi negara dan merusak akhlak budi pekerti para pemuda Yunani Purba karena itu ia di tuntut dan di jatuhi hukuman mati dengan jalan minum racunoleh negara yang ia taati,sebab sebaimanapun juga negara itu ia harus patuhi walaupun negara itu harus di perbaiki.

2.      Plato (429-347 S.M)
Plato adalah seorang filsuf dan matematikawan Yunani, penulis philosophical dialogues dan pendiri dariAkademi Platonik di Athena, sekolah tingkat tinggi pertama di dunia barat.Ia adalah murid Socrates.  Pemikiran Plato pun banyak dipengaruhi oleh Socrates.  Plato adalah guru dariAristoteles. Plato hidup ditengah tengah kekacauan, dimana keadaan dinegaranya sedang terjadi berbagai macam kecurangan politik dan pada saat itu pemimpin yang berkuasa lebih mengutamakan kemewahan dan memperkaya diri sendiri tanpa memperhatikan rakyat mereka, sehingga pada awalnya plato menjauhkan diri dari segala hal yang berbau politik. Plato lebih suka melarikan diri dari kenyataan dan pikirannya melayang-layang di alam khayal, namun hal tersebut mempengaruhi pola piker dan cara bekerjanya, sehingga dikenal dengan metodenya yang disebut deduktip-spekulatip transedental. Diusianya yang ke 20 tahun, plato memilih untuk melakukan perjalanan kebeberapa Negara, yaitu Cyrene, Mesir, Italia Selatan dan Sisilia. Dan pada akhirnya ia menjadi murid Socrates, dan meneruskan ajarannya mengenai “Negara sempurna”.

Menurut ajarannya dikenal dengan 2 (dua) dunia, yaitu :
1.      Dunia indrawi : Realitas yang pertama ini yakni adalah yang mencakup benda-benda jasmani yang disajikan kepada panca indra, atau bisa dikatakan relaitas yang pertama yang dimaksud Plato adalah sesuatu yang dapat dijangkau oleh indra seperti bunga, pohon dan lain-lain. Pada taraf ini harus diakui bahwa semuanya tetap berada dalam perubahan. Bunga yang kini bagus keesokan harinya sudah layu, lagi pula dunia indrawi ditandai oleh pluralitas. Sehingga bunga tadi, masih ada banyak hal yang bagus juga.
2.      Dunia ide : Disamping ada dunia indrawi yang senantiasa berubah, menurut Plato ada juga sebuah dunia yang tidak pernah berubah yakni disebut dunia ideal atau dunia yang terdiri atas ide. Dalam dunia ideal tidak sama sekali yang pernah berubah. Semua ide bersifat abadi dan tak terubahkan. Dalam dunia ideal tidak ada banyak hal yang bagus karena hanya terdapat satu ide “ yang bagus”. Demikian pula dengan ide-ide yang lain yang bersifat abadi dan sempurna.
Asal mula Negara menurut plato karena banyaknya kebutuhan hidup serta keinginan manusia, hal tersebut tidak mungkin dilakukan oleh masing-masing individu, namun mereka melakukannya secara bersama-sama dengan membagi tugas sehingga kebutuhan hidup manusia dapat tercapai.
Socrates mengemukakan 2 (dua) syarat, namun plato menambah syarat tersebut menjadi 3 (tiga), yaitu:
1)      Negara harus dijalankan oleh pegawai yang terdidik khusus.
2)      Pemerintahan harus ditujukan segala-galanya demi kepentingan umum
3)      Harus dicapai kesempurnaan susila dari rakyat.
Hal tersebuat dapat ditarik kesimpulan bahwa sifat Negara dan sifat manusia mengakibatkan adanya penetapan 3 (tiga) macam sifat yaitu : kebenaran, keberanian, dan kebutuhan.

Menurut Plato terdapat lima macam bentuk negara yang sesuai dengan sifat tertentu dan jiwa manusia, yaitu sebagai berikut.
1)      Aristokrasi yang berada di puncak. Aristokrasi adalah pemerintahan oleh aristokrat (cendikiawan)sesuai dengan pikiran keadilan. Keburukan mengubah aristokrasi menjadi:
2)      Timokrasi, yaitu pemerintahan oleh orang-orang yang ingin mencapai kemasyhuran dan kehormatan. Timokarsi ini berubah menjadi:
3)      Oligarkhi, yaitu pemerintahan oleh para (golongan) hartawan. Keadaan ini melahirkan milik partikulir maka orang-orang miskin pun bersatulah melawan kaum hartawan dan lahirlah:
4)      Demokrasi, yaitu pemerintahan oleh rakyat miskin (jelata). Oleh karena salah mempergunakannya maka keadaan ini berakhir dengan kekacauan atau anarkhi.
5)      Tirani, yaitu pemerintahan oleh seorang penguasa yang bertindak dengan sewenang-wenang.

3.      Aristoteles (384-322) [4]
Aristoteles adalah murid Plato. Aristoteles berasal dari macedonia dan datang ke Yunani waktu berusia 17 tahun untuk berguru kepada Plato. Aristoteles waktu itu hidupn dalam masa pancaroba dimana keruntuhan Yunani tidak dapat dihindarkan lagi, sehingga pada akhirnya Yunani kehilangan kemerdekaannya serta menjadi bagian dari kerajaan macedonia. Ia seorang filsuf yang banyak pengaruhnya pada abad pertengahan. Kewibawaannya dalam lapangan ilmu pengetahuan dan filsafat waktu itu hampir sama dengan kewibawaan gereja khatolik. Ia pernah ditugaskan oleh raja philipus untuk mendidik Iskandar Dzulkarnain Pada Waktu 342 S.M. Pada tahun 335 S.M. Ia kembali ke Yunani dan mendirikan sekolah lyceum di Yunani. Karena caranya memberi pelajaran selalu dilakukan sambil berjalan-jalan kian kemari, maka aliran filsufnya disebut peripatetis.
Aristoteles melanjutkan pemikiran idealisme Plato ke realisme. Oleh karena itu filsafat Aristoteles adalah ajaran tentang kenyataan atau ontologie, yaitu suatu cara berpikir yang realistis. Sehingga dengan demikian metode penyelidikannya bersifat induktif-empiris. Dan oleh karena itulah ia di juluki Bapak ilmu pengetahuan empiris (Vader der empirische wetenschap). Aristoteles pernah menyelidiki dan membandingkan-bandingkan Konstitusi polis-polis dalam kebudayaaan Yunani kira-kira berjumlah antara 150-200 buah. Karangan sebagai hasil penyelidikan itu semuanya telah hilang danbaru diketahui lagi sebuah karangan mengenai yunani pada tahun 1891.
Karangannya terdiri dari dua bagian:
1)      Sebagai hasil penyelidikan pertumbuhan polis sebelum tahun 403 S.M.
2)      Mengenai susunan polis semasa Aristoteles.

Didalam penyelidikannya Aristoteles membeda-bedakan hal-hal bersifat idiil yang merupakan pengertian-pengertian abstrak seperti kesusilaan, keadilan hukum, dan sebagainya. Untuk hal-hal tersebut di bahas dalam bukunya yang berjudul ethica atau nicomachen Ethics. Ethica ini merupaka pelajaran pendahuluan terhadap hal yang bersifat real, seperti ajaran negara yang menyatakan bahwa pembahasan negara itu lebih bersifat realis.
Mengenai Negara ia sependapat dengan Plato, yaitu negara bertujuan untuk:
1)      Menyelenggarakan kepentingan warganegaranya; dan
2)      Berusaha supaya warganegara hidup baik dan bahagia (good life) di dasarkan atas keadilan, keadilan itu memerintah dan harus menjelma di dalam negara.
Sehubungan dengan hal itu cara terjadinya Negara menurut Aristoteles ialah bahwa manusia itu berbeda dengan hewan, sebab hewan dapat hidup sendiri,sedangkan manusia sudah di kodratkan untuk hidup berhubungan satu sama lain. Manusia membutuhkan bantuan dari manusia lainnya guna memenuhi kepentingan hidupnya. Manusia itu menurut kodratnya tidak dapat terlepas dari kelompok manusia itu sendiri. Jadi manusia itu merupakan zoon politicon. Dan bilamana ada manusia yang terlepas dari ikatan kelompok manusia itu sendiri, maka merupakan keanehan bahwa makhluk itu bersifat manusia, melainkan dewa atau hewan. Oleh karena itu manusia hidup bersama dengan manusia di dalam suatu kelompok dan penggabungan-penggabungan di antara beberapa kelompok itu mengakibatkan timbulnya negara.
Manusia dapat hidup berbahagia di dalam dan kerena negara, kerena itu manusia tidak dapat terpisahkan dari negara atau masyarakat, dan merupakan lapisan masyarakat atau negara. Dengan demikian maka negaralah yang terutama, baru kemudian wajarlah manusia terpelihara serta terjamin pula. Paham demikian dinamaan Universalism atau collectivisme yang pada waktu itu telah menjadi paham umum di Yunani Purba,jadi bukanlah induvidualisme.
Mengenai tujuan negara oleh Aristoteles dijelaskan, bahwa berhubung dengan pahamnya bersifat universal itu, maka lebih diutamakan adalah negara. Oleh karena itu pemerintah sebaik-baiknya ditujukan kepada kepentingan umum, berlandaskan keadilan yang merupakan keseimbangan kepentingan di atas daun neraca Them (Dewi keadilan di dalam mitologi Yunani). Tujuan dari negara adalah kesempurnaan warganya yang berdasarkan atas keadilan, keadilan memerintah dan harus menjelma di dalam negara, dan hukum berfungsi mermberi setiap manusia apa sebenarnya yang berhak ia terima. Di antara ungkapan terkenal Aristoteles adalah ia menyatakan “man is zoon politicon”, ia juga merupakan penganut prinsip universalitas.
Mengenai bentuk negara, Aristotelas pernah mengadakan penyelidikan pada 150-200 buah konstitusi polis-polis di Yunani, kesimpulan yang didapat menyatakan bahwa terdapat tiga bentuk dasar, yaitu bentuk cita (ideal form), bentuk pemerosotan (corruption or degenerate form), dan bentuk gabungan antara bentuk cita dan pemerosotan (mixed form). Terdapat tiga bentuk negara yang tergolong ke dalam bentuk cita, dengan kriterium atau ukuran kuantitas orang yang memerintah sebagai pembedanya, yaitu :
1.      “one man rule” atau pemerintahan satu orang “monarchi”
2.      “a few man rule” atau pemerintahan sedikit / beberapa orang “aristokrasi”
3.      “the many mans or the peoples rule” atau pemerintahan orang banyak untuk kepentingan umum (politea, polity atau republik)
Untuk bentuk pemerosotan juga terdapat tiga macam bentuk negara, dengan kriterium atau ukuran kuantitatif berdasarkan dengan tujuan yang hendak dicapai, yaitu :
1.      Bilamana tujuannya itu didasarkan kepada kepentingan satu orang atau sendiri atau pribadi, atau pemerintahan tirani “despotie”
2.      Bilamana tujuannya itu didasarkan kepentingan segolongan atau beberapa orang, atau pemerintahan oligarchi atau clique form atau plutocrasi (plutos berarti kekayaan, cratia atau cratein berarti memerintah)
3.      Bilamana tujuannya itu didasarkan untuk kepentingan dan atas nama rakyat seluruhnya “democratie”
Dengan dijulukinya Aristoteles sebagai ‘bapak ilmu pengetahuan empiris’ dikonstalasi, bahwa di dalam kenyataannya, bentuk negara cita tidak pernah terlaksana, melainkan selalu menjadi bentuk campuran atau malah pemerosotan, atas pandangan tersebut Aristoteles juga dianggap sebagai seorang perintis sosiologi hukum.



4.      Epicurus (342-271 SM)
Ia seorang ahli pikir dan hukum, dilahirkan di samos, mendapat pendidikan diYunani serta hidup dalam keadaan keruntuhan negara-negara di Yunani sesudah Yunani menjadi jajahan negara Macedonia. Dan ketika alexander wafat maka kerajaan dunia itu terpecah-pecah, sehingga diYunani timbul perserikatan kota-kota, seperti : Atcoha dan archacia. Keadaan demikian terus berlangsung sampai yunani menjadi bagian dari imperium Romawi. Dalam hal ini manusia sebagai tiap-tiap warga di dalam nsgara dimisalkan sebagai sebutir atom atau sebutir pasir dipadang pasir yang luas jadi bersifat atomitis,  maka hanyalah memikirkan hidup untuk diri sendiri demi keselamatan diri pribadinya sendiri.  Karena itu pandangan demikian disebut pandangan yang bersifat individualistis.
Atas dasar pandangan ini epicurus berpendapat bahwa terjadinya negara itu disebabkan terdorong oleh karena adanya kepentingan sebagai unsur-unsur perseorangan. Dan tujuan dari negara hanyalah menjaga tata tertib dan keamanan dalam masyarakatdengan tidak memperduliakn macam apa dan bagaimana negara itu. Sedangkan tujuan masyarakat adalah kepentingan perorangan yang berarti keenakan diri pribadi. Dan agar jangan timbul perselisihan di antara para warga itu satu sama lainnha maka dibuatlah UU sebagai hasil suatu perjanjian. Krna itu para wrga di dalam negara tidak perlu memikirkan negara sebab asal negara sudah tertib,  maka pimpinan negaralah yang harus mengurus kenegaraan.
Kalau dilihat sipikiran epicurus ini merupakan pikiran yang putus asa takala negara sedang menghadapapi masa keruntuhan dimana rasa kebangsaan menipis, karena tidak diperduliakn lagi siapa dan cara bagaimana negara itu diselenggarakan,  sehingga pendapatnya itu hanyalah menggambarkan negara dan hukum pada suatu saat tertentu.




5.      Zeno (300 M.S.)
Zeno juga hidup dalam keadaan serba lesu dan morat-marit, pemimpin dari aliran filsafat Stoazijnen (stoa; berarti jalan pasar yang bergambar), ia memberikan dan mengajarkan pahamnya kepada para murid dengan mengambil tempat di jalan yang bergambar dan banyak tonggak temboknya, hasil dari aliran ini menimbulkan kebudayaan yunani yang disebut “hukum alam” atau hukum asasi yang ajarannya terbagi dua, yaitu :
1.      kodrat manusia ; dilihat kepada sifat-sifat manusia ialah kodrat yang terletak dalam budi manusia yang merupakan zat hakikat sedalam-dalamnya dari manusia, dan budi itu bersifat tradisional.
2.      kodrat benda ; kodrat benda yang timbul di dalam kebudayaan Yunani, ialah kodrat yang mempunyai pengertian sentral kosmos sebagai lawan daripada chaos, sebagaimana Sokrates, Plato dan Aristoteles, pelukisan dunia sebagai kosmos itu merupakan suatu tata susunan satu kesatuan yang teratur rapi. Sedangkan dalam bentuk chaos itu dunia merupakan paksaan yang tidak ada ‘ordening’ dan tidak mengenal tata sehingga di dalam masyarakat terdapat kekacauan.
Paham dan cita-cita Zeno amat disukai oleh pimpinan negara Roma, sewaktu mereka menyusun imperium Romawi yang terdiri dari berbagai macam bangsa yang diperbolehkan memelihara kebudayaannya masing-masing dan tidak perlu mencintai ibu negara Roma, asalkan mereka tunduk dan mentaati segala ketentuan peraturan Roma. Paham Zeno yang tidak terbatas pada negara kota, melainkan bersifat negara dunia sehingga terdapat universalisme (kepentingan umum, individu bagian masyarakat).


6.      polybios (204-122 S.M)[5]
Polybios merupakan seorang tawanan orang Romawi di Roma. Karena itu ia mendapat kesempatan mempelajari dan meneliti susunan system pemerintahan dan jalannya perkembangan Negara Romawi dan ia menulis sejarah Romawi. Teori yang dikemukakan oleh polybios dikenal dengan sebutan teori perjalanan cyklis (cyclish verlop) merupakan teori perjalanan perputaran sebagai suatu lingkaran yang tertutup yang didasarkan seperti menurut pendapat Aristoteles karena adanya hubungan sebab akibat (causaliteitleer) yang artinya bahwa diantara bentuk-bentuk Negara satu sama lainnya ada suatu hubungan sebab-akibat. Polybios menjelaskan bahwa sebagai bentuk Negara yang tertua, ialah monarkhi, yang pemerintahannya dijalankan oleh seseorang pimpinan Negara yang berbakat dan memiliki keberanian, selain itu ia memerintah dengan baik dan ditujukan demi kepentingan umum yang berlandaskan keadilan. Akan tetapi para penggantinya bertindak menyeleweng, memerintah demi kepentingan pribadi, dan timbullah tirani. Dari bentuk tirani, lama kelamaan warganya memberontak karena tidak tahan dengan penderitaan dan penindasan yang dilakukan oleh pemerintahannya, kemudian mereka memilih beberapa orang dari golongan ningrat yang cerdik dan diberikan kepercayaan untuk memerintah, dan timbullah bentuk Negara aristokrasi.
Namun aristokrasi ini mengalami proses kemunduran dan kemerosotan, karena pimpinan Negara bertindak demi kepentingan mereka yang memerintah, dan bertingkah semena-mena, sehingga mengakibatkan terbentuknya bentuk Negara oligarkhi.Oligarkhi pun mengalami nasib yang sama seperti tirani, karena tindakannya sewenang-wenang dan menimbulkan perlawanan para warga terhadap beberapa pimpinan Negara itu. Warga mendapatkan kemenangan dari perlawanan tersebut dan mengambil alih kekuasaan pimpinan Negara, maka mereka (rakyat) lah yang memegang pemerintahan, dan timbullah bentuk Negara demokrasi.
Bila Negara demokrasi mengalami kemunduran yang disebabkan karena rakyatnya tidak tahu sedikitpun tentang hukum dan tidak memiliki pendididkan dalam pemerintahannya, maka timbullah bentuk Negara okhlorasi. Setelah okhlorasi menimbulkan kekacauan dimana-mana barulah para warga menyadari dan menginginkan adanya pemerintah, muncullah seorang warga yang berani maju mengambil alih pimpinan Negara, dan pada akhirnya membentuk Negara monarkhi kembali, dan terus berputar secara skematis.
Menurut polybios pertumbuhan dan perkembangan bentuk-bentuk pemerintahan suatu Negara adalah suatu siklus yang mengalami pengulangan. Namun teori ini hanya cocok diterapkan dibeberapa Negara saja seperti itania dan jerman yang mengubah demokrasi-monarkhi. Teorinya pun belum dapat dibuktikan dengan tepat, karena sejarah tidak mungkin terulang kembali sama persis seperti dahulu kala.

b.      Masa Romawi
Setelah Yunani disatukan oleh orang Romawi pada tahun 146 S.M. kemudian di gabungkan, sehingga menjadi daerah bagian belaka dari imperium Romawi.oleh karena itu orang-orang romawi tidak mempunyai banyak waktu untuk berpikir dan menulis sebagaiamana halnya orang-orang Yunani, maka orang-orang Romawi tidak banyak meninggalkan tulisan-tulisan mengenai kenegaraan. Mereka sibuk menyusun kenegaraannya yang begitu luas daerahnya, sehingga mereka lebih mengutamakan pembentukan organisasi-organisasi dan peraturan-peraturan yang bersifat praktis yang dapat menjangkau dan mengatur persoalan-persoalan kenegaraannya. Sebab itulah sifat bangsa romawi. Sifat bangsa Yunani selaku ahli berpikir,sedangkan sifat bangsa Romawi selaku ahli praktek, yaitu menjalankan dan memperaktekan segala sesuatu yang timbul dan hidup dalam alam pikirannya. Sehubungan dengan hal itu yang benar-benar asli di dalam kebudayaaan Romawi ialah di lapangan Ilmu Pengetahuan hukum dogmatis atau dogmatische rechtwetenschap dalam arti sempit. Yang di maksud ilmu hukum pengetahuan dogmatis, ialah ilmu pengetahuan yang dijalanka oleh ahli hukum sebagai “pemein” di mana ia turut mengambil peranan. Mengenai istilah ahli hukum sebagai pemain ini berasal dari istilah Renges Hora Siccama seorang ahli filsafat dan sejarah, yang menulis buku berjudul Ntuurlijke waarheid en historische bepalldheid atau kebenaran menurut alam dan ketentuan menurut sejarah, yang membedakan pengertian dan menimbulkan istilah Jurist als medespeler (ahli hukum sebagai pemain) dan Jurist als toeschouwer (ahli hukum sebagai penonton). Jadi yang menenagkan hubungan antara hakim,Undang-Undang, dan hukum.
Mengenai ilmu kenegaraaan, orang-orang Romawi tidaklah asli, berhubung mereka membuntut dan meniru orang-orang Yunani teruutama dalam paham mengenai polis-polis (polis-gedachte). Sama halnya dengan kenegaraan dalam kebudayaan Yunani, maka dalam kebudayaaan Romawi ilmu kenegaraaan itu masih juga belum terpisah-pisah.
Perkembangan sejarah politik Romawi yang mencakup dan meliputi 4 (empat) tingkatan masa, yaitu:

1.      Masa kerajaan
Yaitu masa Koningschap atau kerajaan . Yang jadi pimpinan Negara seorang raja, sehingga bentuk Negara merupakan monarkhi. Masa ini tidak begitu penting dalam pertaliannya dengan isi kedaulatan rakyat. Masa tersebut bersifat legenda.

2.      Masa Republik
Republik atau republiek berasal dari perkataan Res berarti “Kepentingan” dan Publica berarti “umum”. Republik artinya suatu pemerintahan yang menjalakan kepentingan umum. Pada masa itu pimpinan negara di pegang oleh konsul-konsul yang menyelenggarakan dan menjalakn pemerintahan demi kepentingan umum. Biasanya pemerintahan itu di pegang dan di jalankan oleh 2 (dua) orang konsul. Akan tetapi bilamana di dalam keadaan bahaya dan atau darurat,seperti adanya bahaya perang, alam, paceklik, dan lain sebagainya, maka para warganya memilih seseorang atau menunjukan dan mengangkatnya untuk memegang segala kekuasaan di dalam pemerintahan itu selama keadaan bahaya tersebut, demi untuk mengatasinya, sehingga timbullah seorang diktator. Lama atau tidaknya kekuasaan diktator itu bergantung kepada keadaan bahay itu sendiri, sebab jika keadaan bahaya telah teratasi dan keadaan menjadi pulih kembali,maka diktator itu harus mengembalikan kekuasaannya dan memberikan pertanggungjawaban atas segala tindakannya itu kepada rakyat. Rakyat memberikannya lagi kepada dua orang konsul.
3.      Masa Prinsipat
Masa prinsipat ini dimulai dengan masa ceasar. Masa ini dimulai dengan Caesar. Meskipun pada waktu itu para Princep’s atau raja-raja Romawi belum memiliki kewibawaan (gezag) namun pada hakikatnya merupakan orang yang memerintah secara mutlak. Kemutlakan ini di dasarkan kepada ceasarismus yaitu adanya perwakilan yang menghisap, dari dari pihak ceasesar, terhadap kedaulatan rakyat . karena hal itu dinamakna pula Absorptieve representation atau abosorberede vertegenwoordiging. Dan untuk keperluan inilah orang-orang Romawi sibuk mencari-cari dasar atau landasan-landasan hukumnya, agar segala tindakan raja yang menyeleweng dari kedaulatan rakyat dapat dibenarkan dan dihalalkan. Maka dipakailah kedaulatan rakyat untuk mengkonstruksi caesarismus pada masa-masa prinsipat dan dominat. Romawi itu tidak ahli di lapangan kenegaraan disebabkan meniru Yunani, maka kedaulatan rakyat itu disalahgunakan. Dan sehubungan dengan ilmu negara ini di pakailah konstuksi Ulpianus, dengan jalan bahwa “kedaulatan rakyat diberikan kepada prinsep atau raja melalui suatu perjanjian yang termuat di dalam Undang-Undang yang di susun olehnya dengan termasuk di dalam Lex Regia. Jadi landarsan hukumnya “perjanjian” yang terletak dalam lapangan hukum perdata, sebaimana keahlian orang Romawi dalam bidang itu. Dan setelah kekuasaan itu diberikan kepada prinsep maka rakyat dalam kenyataan tidak dapat meminta pertanggungjawaban atas perbuatan-perbuatan “prinsep”. Sehingga terjadilah perwakilan yang menghisap dari pihak ceasar terhadap “kedaulatan rakyat”.
Di Dalam caesarismus ini terkenal dan semboyan yang berbunyi solus publica suprema lex (kepentingan umum mengatasi Undang-Undang); dan prinsep legibus solutes est (rajalah yang menentukan kepentingan umum itu). Jadi pada dasarnya pemerintahan untuk kepentingan umum dan kepentingan itu dirumuskan dalam bentuk Undang-Undang,sehingga kepentingan umum itu dirumuskan dalam bentuk Undang-Undang (publica suprema lex). Akan tetepi timbulnya ekses-ekse maka yang merumuskan kepentingan umum itu bukanlah negara umum atau rakyat, melaikan raja (princep legibus solutus est). Dan karena itu sudah barang tentu di dalam merumuskan itu raja bertindak demi kepentingannya sensdiri. Maka dengan demikian Princep dengan berkedok kedaulatan rakyat dan memerintah sewenang-wenang, memperkosa hukum demi kepentingan dirinya secara leluasa tak terbatas melalui absorberende vergeten woordiging. Kedaulatan rakyat dipergunakan sebagai kedok belaka oleh prinsep untuk mendapatkan feitelijik gezag atau kewibawaan nyata yang tidak terbatas dengan cara konstruksi;”rakyat berkuasa, akan tetapi kekuasaa itu dipindahkan kepada Diraja lewat perjanjian; yang menelan kekuasaan rakyat, sehingga rakyat tidak dapat menggugatnya lagi.sebab pemindahan kekuasaan itu tidaklah merupak penyerahan bersyarat (voorwardelijke overdracht), melainkan merupakan penyerahan tanpa bersyarat dan terhisap (onvoorwaardelijik geabsorbeerd overdracht).
Dengan demikian sesungguhnya masa Romawi telah merupakan monarkhi mutlat yang memuat caesarismus akibat konstruksi Ulpianus, sehingga menimbulkan pengorbanan-pengorbanan di kalangan rakyat Romawi masa itu.[6]

4.      Masa Dominat
Masa dominat merupakan masa para kaisar telah secara terang-terangan tanpa malu-malu menjadi raja mutlak yang bertinak sewenang-wenang dan menyeleweng tanpa memperhatikan rakyatnya.  Contohnya : manusia yang dibakar hidup-hidup, gladiator atau pertunjukan yang mempertontonkan binatang buas yang terbuka untuk umum dan ditonton sebagai hiburan kaisar dan pengikutnya sambil memakan jamuan makanan, sedangkan rakyat Romawi pada masa itu sedang menderita kelaparan.
Orang-orang Romawi memisahkan Negara dari masyarakat. Dalam hal Negara diluar masyarakat, kekuasaan Negara berbeda dengan kekuasaan yang terdapat dalam masyarakat, meskipun emikian social etik dari rakyatitu harus tunduk kepada Negara disamping berdasarkan hokum, rakyat benar-benar dijamin hak-haknya dalam masa-masa sebelum prinsipat dan dominat.
Dengan demikian Negara dikonstruksi sebagai badan hukum atau rechtpersoon dengan ciri-cirinya :
1.      Hidup sendiri
2.      Terdapatnya kepentingan sendiri
3.      Kepentingan itu tidak hanya berbeda, bahkan kepentingan Negara selaku badan hukum itu ada kalanya bertentangan dengan kepentingan para warganya dan
4.      Pimpinan Negara merupakan penjelmaan dari kemauan Negara yang mempunyai hak-hak seniri, disamping adanya hak-hak rakyat yang dijain oleh hokum.
Setelah roma berkembang dan dapat menaklukan daerah yang sangat luas, terjadilah imperium Romawi, dimana paham Zeno banyak disukai oleh orang-orang Romawi, lalu dibentuk dan diberlakukanlah ius gentium yan berasal dari kata gent artinya bangsa dan ius artinyahukum. Ius gentium merupakan permulaan dari hokum antar Negara dan hukum perdata internasional.
Karena berkembangnya Roma dengan daerah taklukannya itu, maka hokum pun turut pula berkembang sehingga Undang-Undang  12 (dua belas) meja itu tidak dapat menampung persoalan-persoalan yang timbul antara orang-orang Romawi dengan bangsa lainnya. Untuk mengisi kekosongan tersebut diadakanlah 2 (dua) macam praetor yaitu :
a)      Praetor urbanus : melakukan pelaksanaan ius civilis yang biasanya termuat didalam Undang-Undang 12 (dua belas) meja terhadap rakyat Romawi. Apabila ternyata upaya tersebut tidak memuaskan maka praetor Urbanus diperbolehkan mengadakan :
1.      Adivere (menyesuaikan)
2.      Supplere
3.      Corrigere
b)      Praetor peregrinus : melakukan pelaksanaan ius gentinum di dalam persoalan antara rakyat Romawi dengan bangsa lainnya atau antar orang asing dengan orang asing lainnya. Didalam mengerjakan kewajibannya itu praetor Peregrinus tidak diperbolehkan menggunakan Undang-Undang 12 meja sehingga ia mengadakan pengadilan Pur Formulae. Putusannya harus didasarkan pada pertimbangan rasa keadilan.


5.      Cicero
Pemikir ini hidup sekitar tahun 106-43 S. M.  Ia mendapat pengaruh dari plato dan teritama sekali dari Zeno.  Dituliskan buku-buku yang berjudul De Republica atau tentang negara dan De Legibus atau tentabf undang-undang yang melukiskan yang melukiskan pikiran-pikiran ketatanegaraan pada masa imperium Romawi. Pahamnya menolak paham Epicurus yang bersifat individualistis itu,  dimana titik berat terletak kepada kepentingan perseorangan.  Sedangkan paham Cicero mendapat pengaruh dari paham Zenk yang mendasarkan pahamnya itu kepada ratio yang murni,  dimana hukum positif harus didasarkan kepada dalili-dalil hukum alam.  Oleh karena itu apabila hukum positif tadi bertentangan dengan hukum alam,  maka kekuatan mengikatnya lenyap.Peraturan-peraturan yang logis dari Roma-lah yang membawa Pax-Romana atau perdamaian dunia.
 Sedangkan pada bidang susunan ketatanegaraan pun jarus pula disesuaikan dengan ratio-ratio yang murni itu agar tidak usah meminta pengorbanan-pengorbanan terlalu banyak dari rakyatnya. Karenanya dianjurkan suatu bentuk negara gabungan diantara ketiga bentuk2 negara itu. Sistem kenegaraan tersebut hanyalah dapat dipertahankan jika terbentuk corps pegawai dan tentara yang setia dan suka mengabdi kepda negara.

c.       Masa Abad Pertengahan
Kebiasaan untuk memberi batas permulaan abad pertengahan dengan tahun 476 saat runtuhnya Kerajaan Romawi Barat bagi sebagian ahli adalah tidak tepat. Sebab Agustinus, seorang pemikir besar yang menciptakan pandangan baru itu hidup setengah abad terlebih dahulu, inghale praktek kenegaraan dan hukum ditutup dengan kodifikasi “Justinianus” setengah abad kemudian di kerajaan Romawi Timur.[7] Terjadilah kemudian sifat-sifat khas yang membentuk manusia abad pertengahan, sebagaimana dilukiskan oleh Beerling bahwa manusia abad pertengahan tak bebas bergantung kepada berbagai hal (kolektivitas). Dengan demikian mengambil kata-kata beerling yang mengungkapkan pandangan umum Eropa bahwa masa pertengahan ialah masa biadab – hingga sampai sekarang dinamai “the dark ages”  - oleh orang Inggris dianggap sebagai antitesis zaman renaissance.[8] Abad pertengahan oleh Lamprecht, seorang ahli sejarah bangsa Jerman dilukiskan sebagai ‘masa yang khas’. Pada mulanya dengan semakin lebarnya pengaruh agama Kristen, penguasa-penguasa Romawi tak mungkin lagi menghindarinya dan terpaksa menerima sebagai suatu kekuatan yang nyata, sehingga timbullah problematika antara negara dan gereja yang dalam perjalanannya gereja tumbuh menjadi sebagai faktor utama dan berkuasa dalam susunan masyarakat serta kenegaraan. Dimulai dari sini Eropa membentuk kepribadiannya untuk tahap zaman pertengahan dan selanjutnya, pembentukan ini didorong pula oleh tumbuh dan berkembang pesatnya kekuatan ‘Timur’ yang sedang merekah (zaman keemasan bagi kebudayaan Islâm dengan sistem pemerintahan kekhalifahannya).
Menurut Hegel, cara berpikir abad pertengahan adalah (teologis–dogmatis) dan (theocratis–naturalis), pemikir-pemikir yang patut mewakili zaman ini, adalah sebagai berikut :







1.      Augustinus (354-430)[9]
Augustinus adalah seorang yang dapat menyusun pemikiran baru bagaimana abad pertengahan, dengan mengambil bahan-bahan dari pikiran-pikiran masa Yunani Purba dan pikiran kekristenan. Pada usia lanjut ia telah di angkat menjadi uskup Hippo Regius di Pantai Afrika Utara. Buku-buku yang terkenal ialah:
a.       Civitas Dei atau Negara Tuhan  
Civitas Dei merupakan kerajaan Tuhan yang langgeng dan abadi
b.      Civitas Terrena
Merupakan hasil kerja atau keduniawian yang terdapat di dalam dunia yang kotor dan fana. Civitas Terrena mengabdikan diri kepada Civitas Dei. Maka di dalam Civitas Terrena terdapat pencampuran antara agama, ilmu pengetahuan kesenian, dan sebagainya.
Karena itulah maka imperium Romawi dimisalkan sebagai Civitas Terrena yang tumbuh berkembang dan musnah karena kejahatan keserakahan hawa nafsu. Untuk mengatasi agar kejadian tersebut tidak terulang kembali,maka pemimpin negara di haruskan memerintah dengan semangat Civitas Dei, yaitu mempraktekkan dan menganjurkan agar agama kristen di masukkan ke dalam negara sebagaimana telah dijalankan Konstantin Theodisius di konstantinopel.
Dapat disimpulkan bahwa pada waktu itu yang memegang peranan utama ialah agama. Ilmu pengetahuan dan segala sesuatunya harus tunduk dan taat kepada agama. Tujuan negara merupakan persiapan bagi negara Tuhan. Di samping itu justru adanya negara dunia untuk memberantas musuh-musuh gereja agar dapat tercapai dan tercipta negara Tuhan.




2.      Thomas Aquino (1225-1274)
Thomas Aquino mengemukakan teori hukum alam thomistis (thomistisch natuurrecht) yang pada mulanya tidak diindahkan (diabaikan), tetapi kemudian menjadi dasar hukum yang berlaku bagi golongan Katolik Roma. Di antara bukunya yang terkenal adalah “Summa Theologic” dan “de Regimene Proncipu”’. Ia membagi asas hukum menjadi dua jenis, yaitu Prinsipia Prima atau asas-asas umum yang dengan sendirinya dimiliki oleh manusia yang berasio sejak saat kelahirannya, mutlak diterima dan berlaku kapan serta di mana saja seperti di dalam sepuluh perintah Tuhan (Tien Geboden atau The Ten Command of God). Serta Principia Secundaria (asas turunan dari asas umum) merupakan tafsiran prima yang dilakukan oleh manusia sendiri menurut rasionya, bersifat selalu berubah-ubah, serta hanya berlaku pada suatu tempat dan waktu tertentu. Seiring dengan itu, ia kemudian membagi hukum menjadi empat golongan, yaitu :
a.        Lex Aeterne (hukum abadi), yaitu rasio Tuhan sendiri yang mengatur segala hal sesuai dengan tujuan dan sifatnya, karenanya menjadi sumber dari segala hukum.
b.      Lex Divina (hukum ketuhanan), yaitu sebagian kecil rasio Tuhan yang diwahyukan kepada manusia.
c.        Lex Naturalis (hukum alam), yaitu bagian dari lex divina yang dapat ditangkap oleh rasio manusia atau merupakan penjelmaan dari lex aeterna di dalam rasio manusia.
d.      Hukum Positif, yaitu hukum yang berlaku dalam masyarakat.
Jika Agustinus berpendapat bahwa pada dasarnya hubungan antara negara dan gereja terpisah satu sama lain, maka Thomas Aquino malah menyatakan bahwa negara itu didukung dan dilindungi oleh gereja demi tercapainya kemuliaan yang abadi.

e.       Dante Alighieri (1265-1321)[10]
Ia seorang penyair italia yang terkenal dan mendapat kedudukan danjabatan tinggi di kota kelahirannya, Florence. Pada masa hidupnya suasana italia sedang diliputi kemelut pertentangan dan perjuanagan serta kekacauan kekuasaan. Ia turut dalam perjuanagan untuk beroleh kekuasaan antara golongan Neri dan Bianchi, yaitu golongan-golongan yang selalu bertentangan. Dia terus masuk kedalam golongan partai Bianchi, atau golongan Chibellin, ialah partai kaisar melawan golongan neri. Atau golongan hitam,kaum Guelf, ialah partai dari Paus. Paus Bonifacius yang dibantu oleh karel dari valois Prancis, memperoleh kembali kekuasaanya. Semua golongan putih di antaranya Dante, di usir, dibuang ke Ravenna pada tanggal 27 Januari 1302, dan pada tahun 1321 menemui ajalnya sebagai seorang buangan.
Tujuan Negara menurut pendapatnya adalah untuk menyelenggarakan perdamaian dunia dengan jalan mengadakan undang-undang yang sama bagi semua umat. Sekitar tahun 1313 terbitlah bukunya “de Monarchi” yang terbagi dalam tiga bab, di mana ia memimpikan adanya suatu kerajaan dunia (lawan dari kerajaan paus) guna menyelenggarakan perdamaian dunia.

f.       Marsiglio (1270-1340) [11]
Ia yang juga disebut Marsilio lahir di kota perdagangan Prancis bernama Padua yang juga sering disandingkan menjadi nama belakangnya, Padua merupakan kota untuk mempelajari falsafah Aristoteles yang menurut tafsiran berdiri di atas landasan Averroesisme (Averroes adalah seorang Arab Muslim bernama asli Ibnu Rosjid, yang berjasa menyampaikan ajaran Aristoteles ke Barat). Dikota kelahirannya, ia memasuki golongan Ghibellin bersama dengan William Occam (1280-1317) ia dikeluarkan dari gereja oleh paus di Avignon, dan pergi ke Jerman serta tinggal di lingkungan Kaisar Louis Bavaria, karena bertentangan dengan Paus Yohannes XXII, maka Louis Bavaria juga dikeluarkan dari gereja. Pada tahun 1313 Marsiglio menjadi Rektor Universitas Paris. Ia berpandangan bahwa negara sebagai kekuasaan sedunia hendaknya diganti oleh negara sebagai pusat kekuasaan yang berdiri lepas dengan hubungan sesuatu kekuasaan yang lebih tinggi seperti gereja. Meskipun ia tinggal di lingkungan kaisar, namun tidak membicarakan masalah kekaisaran, bahkan rakyat diperbolehkan menghukum para penguasa bilamana melanggar Undang-undang.
Marsiglio juga ingin mendemonstrasikan gereja, yaitu agar Paus dipilih oleh rakyat, lalu kekuasan tertinggi diletakkan di tangan badan permusyawaratan gereja-gereja (consilie), sehingga gereja hanyalah mengurus kepentingan kerohanian saja, dan tempatnya tidak lebih tinggi dari uskup lainnya. Kedudukan gereja berada di bawah negara dan tidak berhak mengambil alih hak rakyat dalam membuat Undang-undang.

d.      Masa Renaissance
Zaman ini selalu dipertentangkan dengan zaman pertengahan karena pada zaman pertengahan berlaku beberapa kebenaran yang mutlak dan tertentu menurut agama, pandangan dunia bersifat universalitas dan manusia merupakan bagian dari dunia Kristen yang umum dengan kekuatan gereja serta wahyu sebagai sandarannya.
Alam pemikiran zaman pertengahan mengandung hal yang bertentangan, pada masa itu orang menyusun sintesis-sintesis falsafah teologie yang menerangkan dan mengandalikan segenap kebenaran, tidak ada ilmu pengetahuan yang bebas, falsafah turun derajatnya menjadi pembicaraan abstrak menurut aturan yang telah ditentukan (a ancilla theologiae / babu teologi), pengetahuan empiris nyaris tidak ada yang menjalankan dan eksprimen pun jarang diketengahkan, bahkan Galileo Galilei yang bersikeras tidak mau mancabut teori heleosentrisnya dalam memandang susunan tata surya yang bertentang degan teori geosentris gereja, akhirnya harus menjalani hukuman mati oleh gereja. Kemudian datang zaman renaissance yang diselingi reformasi atas hegemoni gereja Katholik Roma, seperti gerakan Martin Luther yang kemudian dalam bidang agama juga melahirkan Kristen Protestan.
Beberapa pakar yang berpengaruh dari masa renaissance ini, antara lain :
1.      Niccolo Machiavelli (1469-1527)[12]
Niccolo Machiavelli dalam bukunya II Principe dalam bab 18 bahwa “penguasa, yaitu pimpinan Negara haruslah mempunya sifat-sifat seperti kancil dan singa. Ia harus menjadi kancil untuk mencari lubang jaring dan menjadi singa untuk mengejutkan serigala”. Dunia pada masa itu merupakan dunia tanpa moral dan saling adu kekuatan sehingga dengan demikian fiktor kekuasaanlah yang terpenting. Pandangan pada masa itu tidaklah dititikberatkan kepada fator moral, sehingga yang terpenting adalah vorm dan materie. Jadi ia dipengaruhi jiwa zaman, menganggap bahwa yang terpenting adalah dunia yang dialaminya sendiri.
Tujuan Niccolo Machiavelli ialah untuk mencapai cita-cita atau tujuan politik demi kebesaran dan kehormatan Negara Italia, agar menjadi seperti masa keemasan Romawi. Untuk itu diperlukan kekuatan dan kekuasaan yang dapat mempersatukan daerah-daerah sebagai Negara tunggal. Sebab pada waktu itu Italia terpecah belah atas beberapa kekuatan, ditambah lagi dengan usaha pihak Spanyol, Prancis dan Jerman yang berkehendak menguasainya. Dalam usaha kearah itu tidak perlu diingat moral dan kesusilaan sebab moral dan kesusilaan itu hanyalah merupakn kenangan belaka. Oleh karena itu tujuan Negara lain dengan masa lampau. Tujuan Negara masa lampau menurutnya : kesempurnaan, kemuliaan abadi untuk kepentingan perseorangan berupa penyempurnaan diri manusia. Sedangkan tujuan Negara sekarang menghimpun dan mendapatkan kekuasaan yang sebesar-besarnya.
Raja atau pimpinan Negara boleh berbuat apa saja asalkan tujuan bisa tercapai. Ajaran Niccolo tersebut disebut dengan Negara kekuasaan (machts-staatsgedachte), ajaran ini menjelma dan timbullah pengertian realpolitik berdasarkan sikap yang nyata, karena itu disebut juga Machiavellismus. Politik dijalankan engan tiada memperhitungkan faktor moral, sehingga amat sangat berbahaya bagi ilmu politik maupun prakteknya. Dari teori tersebut, ia lebih mendapat nama buruk dari pada termasyur.

2.      Jean Bodin (1530-1596)
Pada masa pertengahan orang belum memikirkan dan mengenal bentuk pemerintahan absolut. Pemerintahan absolut itulah yang dirumuskan dan dibenarkan serta diberikan landasan hukumnya oleh Jean Bodin lewat karyanya Les Six Livres de la Republique. Ia seorang pemikir yang mengerti benar-benar praktek-praktek hidup dan mendasarkan pendapatnya itu atas penyelidikan-penyelidikan peristiwan dalam sejarah, karenanya ia mengerti kecenderungan akan pemerintahan absolut serta paham aka nilainya. Walau demikian terdapat perbedaan paham dengan Niccolo Machiavelli, sebab terletak atas pengakuannya bahwa hukum itu mengandung moral dan moral itu tidak boleh diabaikan. Dilihatnya kekuasan yang terpusat pada Negara yang makin lama makin tegas tampak dalam bentuk kekuasaan raja. Karena itu disimpulkannya, bahwa dasar pemerintahan absolut terletak dalam kedaulatan yaitu kekuasaan raja yang superior. Jadi kedaulatan itu puissance absolue atau kekuasaan mutlak yang terletak didalam tangan raja dan tidak dibatasi oleh Undang-Undang. Karena yang memuat Undang-Undang itu raja, maka tidak mungkin pembuatnya diikat oleh buatannya sendiri. Namun berhubung terdapatnya hukum alam atau Leges Imperi. Maka dengan demikian tidak terdapatlah kedaulatan mutlak, melainkan kedaulatan terbatas baik didalam maupun diluar wilayah Negara atau dengan istilah-istilah hokum zaman sekarang suatu kedaulatan yang dibatasi oleh hak-hak pokok manusia dan oleh hokum yang ebrlaku dalam pergaulan antar Negara (hukum antar Negara). Dengan demikian maka pengertian kedaulatan yang bersifat komperatif diubah menjadi superlatif. Diuraikan secara tegas oleh Jean Bodin, raja-lah yang berdaulat serta kedaulatan itu menjadi sifat dan tanda Negara. Dari hal tersebut Jean Bodin disebuat sebagai “bapak ajaran kedaulatan”.

3.      Aliran Monarchomachen
Monarchomachen artinya pembenci raja atau para musuh raja, namun pengertian ini menurut Prof. Dr. Syahran Basah, S.H., C.N. tidaklah mengenai sasarannya, karena hanya ditujukan pada perlawanan terhadap keburukan-keburukannya yang tertentu saja juga tidak kepada pemerintahan yang bersifat absolute atau terhadap rajanya sendiri.
Dua hal pokok dari ajaran golongan monarchomachen, ialah :
a.       memberi dasar baru kekuasaan raja, berhubung raja tidak lagi seperti Tuhan Yang Maha Adil.
b.      memberi landasan bagi rakyat bilamana raja bertindak sewenang-wenang dan melampaui batas-batas kekuasaannya. Maka rakyat diberi dasar untuk mengadakan perlawanan.
Para tokoh gologan ini, yaitu antara lain :
·         Hotman dengan karya “Franco Gallia” yang menetang absolutisme berdasar histories bukan teologis, tahun 1573,
·         Brutus dengan buah tangan “Vindiciae contra Tyranos” alat-alat hukum melawan raja-raja yang sewenang-wenang, tahun 1579,
·         George Buchanan dengan tulisan “De Jure regni apud Scotos” tentang kekuasaan raja pada bangsa Skot,
·         Johan Althaus / Johannes Althusius; dengan tajuk karangan “Pilitica Methodice Digesta” susunan ketatanegaraan yang sistematik,
·         Juan de Mariana dengan karangan “De Rege ac Regis Institutione” tentang hal raja dan kedudukannya, tahun 1599,
·         Bellarmin (1542-1621) yang menyatakan bahwa menurut bentuk teori negara yang baik adalah monarkhi absolute, akan tetapi kenyataan dalam praktek menimbulkan keadaan yang sebaliknya karena kemerosotan akhlak manusia,
·         Francesco Suarez (1548-1617); sarjana Spanyol dengan buku “Tractatus de Legibus as De Regislatore” uraian tentang Undang-undang dan Tuhan, Pembentuk Undang-undang, tahun 1613,
·         John Milton yang menyetujui pelaksanaan hukuman mati terhadap raja Inggris Charles I, dan
·         John Knox pemimpin aliran Kalvin di Skotlandia
·          

e.       Masa Hukum Kenegaraan Positif (Pertumbuhan dan Perkembangan aliran Deutsche Publisizten)
Dengan timbulnya ajaran atau paham kedaulatan negara (staats souvereiniteit), maka perkembangan memasuki babak ketiga. Tumbuh dan berkembang, sebab dari paham kedaulatan negara itu timbul adanya staatsrechtsdogmatiek atau disebut wetenshap van het positief staatsrecht yaitu ilmu pengetahuan mengenai hukum kenegaraan positif.
Hal ini merupakan pengaruh dari  aliran Legisme yang pada masa pikiran rasionalistik banyak pengikutnya disebabkan dasar ajarannya sesuai dengan dan dapat diterima rasio waktu itu, yaitu :
1)      Bahwa peraturan perundang-undangan menjadi hukum sebab merupakan hasil pekerjaan badan pembentuk Undang-undang atau badan legislatif yang mempergunakan rasionya.
2)      bahwa hukum kebiasaan tidak dapat diterima sebagai hukum yang sungguh-sungguh karena tidak sesuai dengan sifat hukum alam yang berlaku di mana-mana dan tidak berubah, sedangkan hukum kebiasaan itu sifatnya berbeda-beda bergantung kepada tempat dan waktu.
Anggapan di atas sesuai dengan ajaran-ajaran perjanjian masyarakat (social contract) dari Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), dan Jean Jacques Rousseau (1712-1778). Pada pokoknya ajaran itu mendasarkan pahamnya berlandaskan hukum alam yang bersifat “rasionalistis individualistis”dan logis, yang pada masa sebelumnya telah dirintis oleh Hugo de Groot atau Grotius yang mengubah landasan hukum alam berasal dari agama ke rasio. Kemudian lewat trias politica Charles Secondat baron de Labrede et de Montesquieu (1688-1755) yang pada dasarnya bahwa suatu kaidah baru merupakan kaidah hukum bilamana kaidah tersebut dibuat dan ditentukan oleh badan kenegaraan yang diserahi tugas dan kekuasaan legislatif.
Masa hukum kenegaraan positif terdiri dari tiga fase yaitu :
1.      Fase Pertama : KF von Gerber dan Paul Laband
Aliran Deutsche Publizten Schule yang dipelopori oleh Von Gerber timbul sebagai reaksi, baik terhadap hukum Romawi maupun terhadap hukum alam.
·         Reaksi terhadap hukum Romawi:
Baik sebelum maupun pada waktu penyelidikan mengenai hukum bergantung kepada hukum perdata. Hal ini di sebabkan karena terlalu memandang hukum perdata Romawi, dengan demikian metode penyelidikan yang di pergunakan pada waktu itu dikonstruksi sedemikian rupa menurut cara hukum perdata. Pengaruh yang demikian besarnya itudisebabkan karena perkembangan hukum Romawi itu sendiri, yang melazimkan secara paksa segala-galanya ke dalam sistem hukum Romawi. Untuk mengetahui pengaruh yang demikian besarnya itu dari hukum Romawi maka perlu serta patutlah diketahui perkembangan hukum Romawi.
Timbullah reaksi yang menghendaki agar cara menjalankan hukum publik janganlah disesuaikan dengan cara yang dilakuakan terhadap hukum perdata. Hal ini berarti bahwa bagi hukum publik sewajarnya mencari objek dan metode tersendiri yang serasi dengan sifat-sifat hukum publik sendiri, sehingga hukum publik akan dijadikan ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri. Karena hukum perdata mengurus dan mengatur hubungan hukum antara orang terhadap orang lain, maka bersifat koordinasi. Sedangkan hukum publik mengurus dan mengatur perhubungan hukum antara penguasa dengan orang-orang satu sama lainnya,sehingga bersifat subordinasi.
·         Reaksi terhadap hukum alam:
Sebagaimana diketahui hukum alam telah membedakan antara kodrat manusia dan kodrat benda. Baik untuk kodrat manusia maupun untuk kodrat benda dipakai metode penelitian deduktif, dengan pikiran murni dapat dipikirkan apa yang menjadi isi budi Tuhan. Dan kemudian pada penelitian budi Tuhan itu diketemukanlah hukum alam.Sifat positief recht (hukum positif) itu relatif, disebabkan tidak terdapa hukum yang bersifat abadi dan langgeng seperti hukum alam. Hal ini disebabkan karena berlain-lainannya :
1)      Waktu, baik telah lampau,sekarang, dan dengan yang akan datang;
2)      Tempat dan keadaan (gesteldheid) di sini dengan tempat dan keadaan di sana;dan
3)      Bangsa yang satu dengan bangsa yang lainnya.

Hukum tidak kekal sifatnya tetapi berubah menurut tempat dan zaman. Isi hukum di tentukan oleh perkembangan adat-istiadat rakyat dalam sejarah. Isi hukum ditentukan oleh sejarah masyarakat manusia dimana hukum itu berlaku. Sehingga akhirnya ia mendalilkan bahwa Das recht wird nich gemacht, aber es ist und wird mit dan Volke, (Hukum itu tidak dibuat, melaikan ada dan menjadi bersama-sama dengan rakyat)

2.      Fase kedua: Bluntschli dan Georg Jellinek
Ketika Bluntschli, seorang mahaguru dalam mata kuliah ilmunegara di UniversitasbHeidelberg di Negara Jerman mengundurkan diri, maka untuk selama5 tahun dicari penggantinya. Akhirnya pilihan jatuh pada muridnya, yaitu Georg Jellinek yang mendapat kehormatan menjadi mahaguru ordonaris dalam mata kuliah ilmu negara. Meskipun Georg Jellinek termasuk paham kedua dari perkembangan positivisme, pandangannya terhadap negara tidak semata-mata nur yuridis belaka,tapi memperhatikan juga faktor-faktor “non-yuridis.” Zweiseuten Theori, yaitu suatu teori yang memandang negara dari 2 segi, ialah :
1)      Segi sosiologis:
Yaitu suatu pandangan yang membicarakan negara sebagai gejala peristiwa sosial atau soziales Faktum; dan
2)      Segi Yuridis:
Yaitu suatu pandangan yang membicarakan negara sebagai bangunan-bangunan (lembaga-lembaga) hukum atau rechsliche institution.

3.      Fase ketiga: Hans Kelsen
Paham ketiga dari perkembangan positivisme diwakili oleh Hans Kelsen itu dipimpin dari mazhab atau aliran hukum Wina yang merupakan kelanjutan dari mazhab Malburg yang di pimpin oleh cohen.
Hans kelsen menyebutkan “ bahwa hukum itu merupakan kumpulan kaidah-kaidah (normen) yang bersifat memaksa. Dan lewat reine Rechtslehre atau ajaran hukum murni, hukum itu harus diberikan dari faktor-faktor non yuridis,terutama faktor sosiologi dan etis. Hukum itu harus ditaati dan menentukan pedoman tingkah laku manusia apa yang seharusnya di jalankan dan tidak dijalankan – normatis - , disebabkan merupakan perintah dan kehendak negara atau wile des staates. Negara itu merupakan persekutuan susunan zwangsordnung, yaitu yang dipertahankan oleh paksaan yang mengandung hak memerintah dan terdapat kewajiban manusia untuk seharusnya menaati perintahnya itu. Maka negara sama atau identik dengan hukum, sebab ketertiban negara merupakan personifikasi dari ketertiban hukum. Berdasarkan pandangan yang demikian atas sifat hakikat negara itu terjadilah apa yang disebut Der Ataat ist Zurrechtnungpunkt atau negara itu merupakan titik pertanggungjawaban terhadap undang-undang atau tat hukum. Jadi negara adalah badan yang memberikan sanksi dan yang bertanggung jawab.
Hans kelsen menganggap bahwa negara itu merupakan kesatuan tata hukum atau normordening (behorenordening), yaitu tat yang memberi pedoman terhadap tingkah laku manusia apa yang seharusnya dijalankan dan tidak dijalankan. Oleh karena itulah menurut pendapatnya, ilmu negara dalam setiap pembahasannya menerangkan dan bentuk-bentuknya harus menghindarkan diri dari metode Kausalgenitis atau sebab musab.

f.       Masa ilmu politik sebagai ilmu yang berdiri sendiri
Ilmu politik dianggap sebagai ilmu yang beridri sendiri dikemukakan oleh Hermann Heller, seorang sarjana abad XX yang terkenal dan berani melancarkan serangan dan kritik, baik terhadap George Jellinek maupun muridnya, Hans Kelsen. Secara keseluruhan reaksinya itu ditujukan kepada aliran positivisme yang selama itu pendapatnya didukung sebagai ‘Communis opinie doctorum’ yang telah menjadi pendapat umum di kalangan para cerdik pandai (cendekiawan). Dikatakan menentang pendapat yang telah menjadi pendapat umum, karena pada waktu itu pengaruh George Jellinek yang juga disebut sebagai Bapak Ilmu Negara sangatlah besar. Karena keberanian, kesadaran akan teori dan keasliannya itulah, maka Paul Scholten selaku nestor (grootmeester) pertama di lapangan ilmu hukum dari Universitas Amsterdam berkata tentang diri Hermann Heller, di dalam bukunya yang berjudul ‘Verzemelde Geschriften’ bahwa Hermann Heller adalah politikus asli yang paling baik di dalam lapangan teori hukum dan teori negara. Hermann Heller termasuk salah seorang pemimpin mazhab Baden yang dipimpin oleh Dilthey, yang merupakan pecahan dari Neo Kantiaanserichting sebagaimana mazhab Malburg.
Dalam mengejar dan mengarahkan diri kepda nilai-nilai mutlak manusia hanya mencapai dan berada dalam dunia kebudayaan yang terdiri atas dua bentuk:
1.      Bentuk kasar atau prailmu pengetahuan yang mengandung:
a)      Pikiran rakyat;dan
b)      Bahasa rakyat.
2.      Bentuk khusus ilmu pengetahuan yang mengandung:
a)      Ilmu pengetahuan;
b)      Etika; dan
c)      Estetika.
Adalah barang mustahil bagi manusia untuk mencapai kebenaran sejati,sebab manusia adalah manusia dengan segala cacat-cela yang ada padanya,tiada upaya. Staatslehre Herman Heller dapat dilihat dari 2sisi yaitu:
1.      Dari Sudut Positif
Yaitu sebagai reaksi terhadap Georg Jellinek yang mengangggap ilmu politik merupakan ilmu pengetahuannya yang tidak berdiri sendiri,karena hanya mempraktekan segala hasil penelitian yang diperoleh ilmu negara untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
2.      Dari Sudut Negatif
Yaitu melancarkan kritik terhadap Hans Kelsen pada bukunya yang berjudul Allgemeine Staatslehre dan Reine Rechlehre.
BAB III
PENUTUP
a.     Kesimpulan
Ilmu Negara adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki asas-asas pokok dan  pengertian-pengertian pokok tentang Negara dan hukum tata Negara.
Masa Yunani Purba:
·         Socrates (470-399 SM) Socrates berpendapat bahwa negara bukanlah organisasi yang dibuat untuk kepentingan pribadi. Negara adalah suatu susunan yang objektif  bersandarkan kepada sifat hakikat manusia dan bertugas untuk melaksanakan hukum yang objektif yang memuat keadilan bagi masyarakat umum.
·          plato(±428/427-348/347 SM) Menurut Plato, asal mula negara adalah karena  banyaknya kebutuhan hidup dan keinginan manusia dan manusia tidak mampu memenuhi seluruh kebutuhan dan keinginannya.
·         Aritoteles(384-322 SM) Aristoteles hanya mengakui adanya satu dunia Berkaitan dengan terjadinya Negara, menurut Aristoteles, manusia berbeda dengan hewan sebab hewan dapat hidup sendiri sedangkan manusia sudah dikodratkan untuk hidup dengan manusia lain.Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,manusia membutuhkan manusia lain.
·         Zeno (300 SM) Hasil dari aliran stoazijnen, maka timbul dalam kebudayaan Yunani apa yang disebut "hukum alam" atau "hukum asasi" (natuurrecht).
·         Polybius(204-122 SM) Menurut Polybios, proses perkembangan, pertumbuhan dan kemerosotan bentuk- bentuk negara secara psikologis bertalian dengan sifat-sifat manusia menurut ajaran Aristoteles, yaitu bahwa tidak adanya bentuk negara yang abadi disebabkan karena terkandung benih-benih pengrusakan, seperti pemberontakan, revolusi dll.

Masa Abad pertengahan :
·         Augustinus (354-430).
Pada waktu itu yang memegang peran utama adalah agama. Ilmu pengetahuan dan segala sesuatunya harus tunduk dan taat kepada agama. Tujuan Negara merupakan persiapan untuk Negara Tuhan.
·         Thomas Aquino
paham Thomas Aquino Negara itu didukung dan dilindungi oleh gereja demi tercapainya kemuliaan yang abadi, sehingga ada hubungan kerja sama antara negara dengan gereja.
·         Dante Alighieri. (1265-1321)
Tujuan negara menurut pendapatnya adalah untuk menyelenggarakan perdamaian dunia dengan jalan mengadakan hukum yang sama bagi semua umat.
·         Marsiglo di Padua (1270-1340)
Ia berpandangan bahwa Negara sebagai kekuasaan sedunia diganti oleh negara sebagai pusat kekuasaan tetap yang berdiri lalu dengan hubungan sesuatu kekuasaan yang lebih tinggi seperti gereja.
Masa Romawi
·         Masa Kerajaan
·         Masa Republik
·         Masa Prinsipat
·         Cicero
Masa Renaissance
·         Niccolò Machiavelli (1469-1527)
Tujuannya adalah untuk mencapai cita-cita atau tujuan politik demi kebesaran dan kehormatan Negara Italia, agar menjadi seperti masa keemasan Romawi.
·         Jean Bodin (1530-1596) 
Ia seorang pemikir yang mengerti benar praktek-praktek hidup dan mendasarkan pendapatnya itu pada penelitian-penelitian peristiwa dalam sejarah, karenanya ia mengerti kecenderungan akan pemerintahan absolute dan paham akan nilainya.
·         Aliran Monarchomachen.
Artinya pembenci raja atau musuh-musuh raja. Pengertian tersebut tidak mengenai sasaran, karena hanya ditujukan pada pertandingan terhadap keburukan-keburukannya yang tertentu saja juga tidak kepada pemerintahan yang bersifat absolute atau terhadap rajanya sendiri.
Masa Hukum Kenegaraan Positif
·         Fase pertama: KF von Gerber dan Paul Laband
·         Fase kedua: Bluntschli dan Georg Jellinek
·         Fase ketiga: Hans kelsen
Masa Ilmu Politik sebagai Ilmu yang berdiri sendiri
Dalam mengejar dan mengarahkan diri kepada nilai-nilai mutlak manusia hanyalah mencapai nilai-nilai mutlak itu manusia hanyalah mencapai dan berada dalam dunia kebudayaan yang terdiri atas dua bentuk:
1.      Bentuk kasar atau prailmu pengetahuan yang mengandung:
a.       Pikiran Rakyat; dan
b.      Bahasa rakyat.
2.      Bentuk khusus atau ilmu pengetahuan yang mengandung:
a.       Ilmu pengetahuan;
b.      Etik;
c.       Estetika.
b. saran
Saran kami terutama bagi pembaca atau generasi bangsa agar dalam membaca makalah ini menjadi tertantang untuk menjalankan cita-cita bangsa serta menjaga keutuhan negara tercinta kita yaitu Bangsa Indonesia sehingga keindahannya selalu terjaga. Makalah ini juga  bisa menjadi patokan bahwa sampai mana kemampuan bangsa ini agar kita bisa melestarikannya.

DAFTAR PUSTAKA
1.      Sumber Buku
Prof. Dr. Sjachran Basah, S.H., CN. Ilmu Negara (Pengantar, Metode, dan Sejarah Perkembangan)
H. Cecep Wiharma, SH, MH. Pendidikan Kewarganegaraan
2.      Referensi lain
http://www.academia.edu/9810408/sejarah_ilmu_negara (Di akses pada tanggal 15 februari 2017)





[1] R.F Beerling: “Filsafat dewasa ini” dialihbahasakan oleh Hasan Amin Dinas penerbitan Balai Pustaka – Jakarta – cetakan ketiga – 1961. Hal 15.
[2] Sukarno: “ Sari pandangan sarjana-sarjana tata negara seluruh dunia”-penerbit toko buku A.R.C. Salim – Malang – Agustus 1952, hal 7-9 J.J Von Schmid/R. Wiratnodan djamaluddin Dt. Singomangkuto: “Grote denkers over staat en recht”- (van Plato tot kont) - /”Ahli-Ahli pemikir besar tentang negara dan hukum” – (dari plato sampai kont) – P.T. Pembangunan – Jakarta,1954 hal. 11-12. Will Durant, alihbahasa oleh helena C. Pos, dengan judul: “Van socrates tot bergson”- disertai kata pengantar dari H.J Pos – L.J.C. Boucher – den Haag 1950.
[3] R.M. Mac Iver, op.cit., hal. 14.
[4] Sunarko, op.cit., hal.13-16.
 J.J.Von Schmid/Wiratno dan djamaluddin Dt. Singomangkuto, op.cit., hal.27-42.
Will Durant, op.cit,. hal. 49-93 dan lihat pula hal. 3, 30, 42, 49f, 104f, 117, 127f, 139, 150, 185, 188, 316, 333, 408, 489, 492.
M.L. Bodleader, op.cit., hal. 47-121.
Helena C. Pos, op.cit., hal. 62-110.
Saxe commins and Robert N. Linscoft, op.cit,. hal. 3-126.
[5] J.J. Von Schmid, op.cit., hal. 52-54
R. Kranemburg/Tk. B. Sabaroedin, ip.cit., hal. 81-89/90-99
[6] Bandingkan dengan “sendi keseimbangan” yang merupakan “abstractenorm” dari Ulpianus,bahwa:
1.       Honeste vivere atau hiduplah jujur;
2.       Alterum non laedere atau janganlah berbuat yang bersifat merugikan sesama maunusia lainnya; dan
3.       Suum suiqum tribuere atau bersikaplah adil
[7] J.J Von schmid/Wiratno dan Djamaluddin Dt. Singomangkuto, op.cit., hal.59.
[8] R.F.Beerling:”Pertumbuhan Dunia Modern” Jilid I – Percetakan Pustaka Rakyat N.V – Jakarta, hal. 40-41
[9] Sunarko, op.cit., 21-22.
 J.J. Von Schmid/Wiratno dan Djamaluddin Dt. Singomangkuto, op.cit., hal 65-71.
 M.L Bodlaender, op.cit., hal. 121-125
[10] Sunarko: op.cit., hal. 29-30
   J.J. Von Schmid/Wiratno dan Djamaluddin Dt. Singomangkuto, op.cit., hal 91-95
   M.L Bodlaender, op.cit., hal. 149-156
[11] S. Mok:” Marsillius van Padua, een bijdrage tot de geshiedenis der staasleer”dalam “Staatswetenschappelijke Optellen” op.cit., hal. 1-29
[12] Sunarko; op.cit,. hal. 34-35.
J.J VON Schmid/R.wiratno dan Djamaludin Dt. Singomangkuto; op.cit., hal. 107-115
M.L. Bodlaender: op.cit., hal. 166-192.
Lihat pula: Ossip K. Flechtheim: “Fundamentals of Political Science”; Joseph S. Roncek: 
“Introduction to politics”



Jangan lupa tinggalkan komentar yah :D

0 comments :

Post a Comment